Sumber: Ruang Terang
RUANG TERANG - Gerakan 30 September menjadi catatan kelam sejarah bangsa Indonesia. Tujuh pejuang terbaik yang dimiliki bangsa Indonesia gugur.
Kini, setiap memasuki bulan September, narasi soal komunisme dan PKI selalu jadi isu yang sangat seksi, terlebih sejak orde baru tumbang.
Peristiwa 30 September, diperingati setiap tahunnya sebagai upaya kudeta Pemerintahan Republik Indonesia yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan merongrong ideologi Pancasila.
Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Budaya dan Pariwisata, Dadang Solihin sangat mengecam kejahatan PKI tersebut.
"Pada prinsipnya kita semua sangat mengecam keras kekejian dari gerakan PKI itu. Atas kepentingan apapun, kelompok itu tidak boleh dibiarkan tumbuh lagi di Indonesia," ujar Dadang Solihin, di Jakarta, Kamis (30/9/2021).
Meski demikian, Dadang berupaya mengungkap fakta sejarah sebenarnya. Catatan sejarah itu penting diurai kembali guna mengungkap keadaan sebenarnya karena akan jadi penerang bagi generasi selanjutnya.
Satu hal yang menarik, kata Dadang, ada pada buku berjudul ‘Kesaksian: Memoir Seorang Kelana Angkasa’. Buku itu dia dapatkan langsung dari putra, Marsekal Wisnu Djajengminardo yang kala itu menjadi Komandan Wing Ops 005 merangkap Komandan Pangkalan Halim Perdanakusuma saat peristiwa pemberontakan G30 S/PKI terjadi.
"Pada 17 Juli 2021 Alhamdulillah mendapat kiriman buku dari Pak Irmawan Emir Wisnandar, mantan Dubes Indonesia untuk Laos. Beliau putera dari pelaku sejarah Marsekal Wisnu Djajengminardo itu," kata Dadang Solihin.
Dikatakan Dadang, pelurusan sejarah bangsa Indonesia penting dilakukan dalam rangka membentuk dan membangun karakter bangsa.
Dari kisah yang dialami Marsekal Wisnu Djajengminardo, ungkap Dadang Solihin, ada kejadian menarik yang patut dipelajari.
“Diantaranya bercerita mengenai isi buku yang ditulis ayahnya. Di dalam buku itu terdapat satu bab yang mengisahkan kesaksian Pak Wisnu mengenai pengalamannya sebagai Komandan Halim dan Wing Ops 005 pada bulan September-Oktober 1965," tutur Dadang Solihin.
Dalam buku ini, ucap Dadang, suasana pangkalan Halim saat malam kejadian penculikan dan pembantaian para Jenderal oleh kelompok yang menamakan dirinya Progresif - Revolusioner itu tidak mengindikasikan akan terjadinya peristiwa yang menggegerkan dunia tersebut.
Dalam bukunya, Marsekal Wisnu Djajengminardo mengungkapkan bahwa pada tanggal 30 September 1965 sekitar pukul 22.00 seorang perwira dari MBAU datang ke rumah Pak Wisnu di Jl. Madura 21 Menteng.
"Karena, selama jadi Komandan Pangkalan dikatakan bahwa beliau tidak menempati rumah dinas di komplek Halim Perdanakusuma. Pak Wisnu diminta datang ke Komando Operasi (Koopsau) di Halim Perdanakusuma untuk menemui Komodor Leo Wattimena. Beliau pun dengan mengendarai sendiri mobil dinasnya bergegas menuju Halim,” jelasnya.
Setibanya di Markas Koops sekitar pukul 23.30 kala itu, kata Dadang, Wisnu menemui Leo yang ditemani beberapa perwira stafnya. Leo menyampaikan kepada Wisnu bahwa dirinya baru kembali dari kediaman Men/Pangau Marsekal Madya Omar Dhani dan menerima briefing bahwa malam tersebut akan terjadi sesuatu di kalangan Angkatan Darat.
Beberapa jenderal, sebut Leo ke Wisnu lanjut Dadang, akan ditangkap oleh golongan yang menamakan diri Progresif Revolusioner.
“Ini adalah masalah intern mereka, tetapi kita harus berjaga-jaga. Komandan Halim agar mengkonsinyir Pangkalan, Batalyon PGT (Pasukan Gerak Tjepat) disiapkan, hanggar dijaga agar tidak terjadi sabotase dan kamar istirahat di kantor saya disiapkan jika Men/Pangau akan singgah ke sini,” ungkap Dadang dikutip dari percakapan Leo dengan Wisnu.
Dadang menyampaikan, kepenasaran Wisnu saat itu cukup membuncah lantaran belum memahami hal apa yang akan terjadi saat itu. Wisnu pun, kata Dadang, bertanya lebih dalam kepada Leo terkait siapa yang menamakan diri Progresif-Revolusioner dan siapa saja Jenderal yang menjadi target operasi tersebut.
Namun, alih-alih mendapatkan informasi lebih jauh, Leo pun mengaku tidak tahu detail selain dari apa yang diperintahkan Omar Dhani.
Meski begitu, Wisnu tetap mematuhi perintah yang disampaikan Leo. Kepada Perwira Staf dan para Komandan Skadron 31, 2, VIP, Wisnu meminta melaksanakan perintah dari Komodor Leo.
Sementara Wisnu, kata Dadang, akan pulang dulu ke kota guna menyiapkan pakaian lantaran akan kembali ke Halim dan tidur di kantornya.
“Pak Wisnu menulis dalam bukunya bahwa selama perjalanan ke kota, Pak Wisnu terus memikirkan tentang briefing dari Komodor Leo," imbuhnya.
Karena penasaran itu, lanjutnya, Marsekal Wisnu Djajengminardo mengambil pakaian dan perlengkapan di rumahnya lalu singgah di rumah kakak iparnya yakni Kolonel CPM Drajad (Brigjen Pur) di Jl. Surabaya, Menteng.
"Pak Wisnu sampaikan apa yang didengarnya dari Komodor Leo dan juga pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dengan memuaskan oleh Komodor Leo,” kata Dadang mengisahkan.
Lagi-lagi, lanjut Dadang, Wisnu tidak mendapatkan jawaban memuaskan dari Drajad. Dadang menyebutkan bahwa Drajad yang saat itu ditugaskan di Koti (Komando Tertinggi) mengaku tidak tahu tentang informasi-informasi intelijen.
Tetapi, Drajad menawarkan diri mengantar Wisnu menemui kawan Drajad semasa sekolah di SMP Malang jaman pendudukan Jepang yakni Overste S yang saat itu menjabat staf Dit POM dan tinggal di Taman Matraman.
Senada dengan Drajad, lanjut Dadang, Overste S pun mengaku tidak pernah mendengar dan mengetahui informasi yang dibawa Wisnu kala itu. Padahal, berbagai penjelasan sangat diperlukan Wisnu lantaran dirinya menerima tugas dan tanggung jawab besar yaitu menyiagakan pangkalan.
“Dengan perasaan tidak puas Pak Wisnu kembali menuju Halim lewat Jatinegara dan By Pass, Suasana kota pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00 WIB dini hari kelihatan sepi. Setelah melewati pos penjagaan POLAU dan Markas Koops yang gelap dan sepi Pak Wisnu tiba di kantor. Pak Wisnu tidak membawa ajudan atau sopir, karena ‘I was all alone by myself', itulah prinsip Pak Wisnu. Selama perjalanan dari rumah sampai kantor, disebutkan bahwa Pak Wisnu tidak melihat hal-hal yang aneh atau mencurigakan,” pungkas Dadang.***
コメント