Sumber: Kosadata
KOSADATA – Mantan Direktur di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Dadang Solihin mengatakan, terdapat tiga permasalahan yang tengah dihadapi terkait peningkatan peran perencana dalam kerangka penjabaran visi Indonesia 2045 serta dalam menyusun rekomendasi kebijakan untuk mewujudkan perencana yang profesional.
Hal ini disampaikan Dadang menanggapi agenda Penyusunan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dan Lampirannya bagi Jabatan Fungsional Perencana (JFP).
Ketiga permasalahan tersebut adalah kurang dipahaminya peraturan JFP, adanya pendapat ‘minor’ terhadap JFP dan kurangnya komitmen pimpinan.
Dadang menuturkan, guna mengatasi ketiga permasalahan tersebut, ia mengusulkan sejumlah alternatif kebijakan serta beberapa rekomendasi untuk dilaksanakan oleh pihak terkait secara terencana dan terkoordinasi.
“Permasalahan yang dihadapi oleh para perencana sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Bastian dalam tulisannya pada 2009 adalah kurang dipahaminya peraturan JFP, adanya pendapat “minor” terhadap JFP, dan kurangnya komitmen pimpinan. Dari ketiga permasalahan tersebut, dilakukan perumusan permasalahan dengan menggunakan pendekatan CGI , yaitu Controversy, Gap, dan Inconsistency,” ujar Dadang di Jakarta, Minggu (6/3/2022)
Dadang menjelaskan, pemahaman peraturan tentang JFP ditandai dengan fenomena bahwa peraturan tentang JFP belum merespons perubahan jaman, pengembangan pola karir JFP dan arah serta tujuan Perkumpulan Perencanaan Pembangunan Indonesia (PPPI).
Untuk itu, kata Dadang, Bappenas dalam hal ini Pusbindiklatren perlu segera melakukan evaluasi dan revisi peraturan tentang JFP serta sosialisasi kepada seluruh instansi pengguna terutama tentang kedudukan dan peran JFP dalam proses perencanaan pembangunan.
“Peraturan tentang JFP belum merespons perubahan jaman adalah permasalahan kontroversi. Oleh karenanya, Pusbindiklatren bersama perguruan tinggi dan PPPI perlu merumuskan kembali kompetensi yang benar-benar diperlukan perencana, terutama ditengah berbagai perkembangan, diantaranya proses perencanaan dan penganggaran, sistem politik dan kepemerintahan, isu-isu globalisasi, krisis ekonomi dan perubahan iklim dunia, dan serta semakin terbatasnya sumber daya,” kata tokoh yang gemar olahraga ini.
“Sehingga Pusbindiklatren perlu fokus lebih terarah dan sistematis dalam rancang-bangun pengembangan pola karir melalui pelatihan dan non pelatihan, termasuk merevisi disain kurikulum dan standar ujian kompetensi, serta memperjelas susunan dan kedudukan JFP di dalam organisasi pemerintah,” sambungnya.
Sementara itu, Dadang menuturkan bahwa arah dan tujuan PPPI adalah permasalahan inkonsistensi. Menurutnya, harus ada upaya terencana untuk mempercepat pencapaian arah dan tujuan PPPI untuk menjadi organisasi profesi yang handal dan berkewenangan. “Dalam hal ini perlu disusun organisasi yang solid, mekanisme sertifikasi, dan penegakan kode etik perencana yang fair, objektif dan berwibawa,” ucapnya.
Kemudian, masalah kedua yakni Pendapat ‘minor’ terhadap JFP. Sekretaris Dewan Pengurus Daerah Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL) DKI ini mengatakan, permalsalahan tersebut ditandai dengan fenomena bahwa JFP masih dianggap jabatan buangan, masih ada gap dalam penugasan fungsional dan strutural serta belum ada pemahaman dalam pemanfaatan JFP.
Menurutnya, JFP masih dianggap jabatan buangan adalah permasalahan kontroversi. Dadang menegaskan, jabatan struktural dengan berbagai fasilitasnya dengan seketika akan hilang apabila pejabat struktural tersebut diberhentikan dari jabatannya dan dibuang ke fungsional. Bahkan meja kursi untuk sekedar duduk saja bagi seorang yang baru saja menjabat fungsional adalah sesuatu yang sangat sulit didapatkan.
Namun demikian, lanjut Dadang, kesulitan ini tidak menjadi penghambat bagi seorang fungsional untuk terus berkarir. Modal dasar seorang JFP adalah kemampuannya untuk melakukan penelitian dan pengkajian secara komprehensif, holistik, integral, dan tepat waktu, serta memiliki jaringan yang luas dan dekat kepada para pengambil keputusan dan elit kebijakan lainnya.
Di samping itu, JFP juga memiliki kontak dengan key persons di kalangan politik, pemerintahan, TNI-Polri, komunitas akademis, dan mass-media.
“Masih ada gap dalam penugasan fungsional dan strutural ditandai dengan sibuk dan padatnya jadwal kerja sehari-hari yang harus dilaksanakan oleh seorang pejabat struktural, dan di sisi lain seorang JFP terkantuk-kantuk di sudut-sudut ruang kerjanya karena tidak ada penugasan,” ungkapnya.
“Padahal sejatinya JFP memiliki potensi jaringan peneliti, pengkaji, dan nara sumber yang andal dan siap untuk berkolaborasi yang berasal dari dalam dan luar negeri. Di samping itu JFP juga sudah terbiasa untuk memanfaatkan infrastruktur yang dimiliki oleh instansi berupa perpustakaan, jaringan internet, dan langganan journal nasional maupun internasional,” lanjutnya.
Lebih lanjut Dadang menjelaskan, belum ada pemahaman dalam pemanfaatan JFP adalah permasalahan inkonsistensi dari tujuan awal dibentuknya JFP pada awal tahun 2000an yaitu; pertama melakukan kegiatan perencanan secara menyeluruh dimulai dari identifikasi permasalahan hingga penilaian hasil kegiatan.
Kemudian, sambungnya, kedua adalah menghasilkan rencana kebijakan makro, sektor dan daerah serta berdampak secara menyeluruh, dan ketiga yaitu melakukan pemantauan dan evaluasi.
“Potensi yang dimiliki JFP yang luar biasa ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam pengambilan kebijakan internasional, regional, dan nasional, diandalkan oleh media dan elit kebijakan di negeri ini, pemanfaatan oleh lembaga legislatif dan eksekutif, serta menjadi referensi yang dibuat untuk penelitian dan analisis dalam publikasi yang ilmiah maupun yang popular,” sebutnya.
Permasalahan yang terakhir, kata sosok yang berdinas puluhan tahun di Bappenas dan pernah menjadi Rektor sebuah Perguruan Tinggi ini, adalah komitmen pimpinan terhadap peran JFP ditandai dengan anggapan bahwa setelah menjadi JFP banyak yang mbalelo, prospek JFP di masa depan yang penuh tanda tanya, serta banyaknya masukan dan pertimbangan dari JFP yang diabaikan.
Ia menyebutkan bahwa untuk para pemangku JFP, peranan dari pimpinan sangat berpengaruh. Menurutnya, pimpinan wajib membina para JFP yang telah ditempatkan.
“Pimpinan juga memantau perkembangan para pejabat fungsional ditempatnya. Seorang pimpinan dapat dimintai pertanggungjawabanya apabila para fungsional ditempatnya tidak mengalami perkembangan atau kemajuan bagi dirinya sendiri,” tegasnya.
Mantan Deputi Gubernur DKI Jakarta bidang Budaya dan Pariwisata ini menyebutkan, anggapan bahwa setelah menjadi JFP banyak yang mbalelo adalah permasalahan kontroversi. Pada prinsipnya, lanjut Dadang, tidak ada perbedaan yang mendasar antara Jabatan Struktural dengan JFP lantaran kedua jabatan ini sangatlah berbeda outputnya.
Ia menyebut bahwa yang diperlukan adalah adanya kewenangan dan kedudukan yang jelas antara struktural dengan JFP. Setelah dia fungsional bukan berarti tidak bisa menjadi struktural kembali, dan setelah menjadi fungsional bukan berarti lepas pekerjaan semuanya dan boleh mbalelo.
“Seorang JFP yang profesional dituntut untuk menghasilkan ide-ide dan perumusan kebijakan yang secara jumlah dan kualitas setara world class institution. Produk kajiannya harus out of the box dan outward looking, sehingga menjadi sesuatu yang penting sebagai masukan untuk Musrenbang RPJMN, Musrenbang RKP, untuk dipublikasikan dalam buku, jurnal ilmiah, makalah kebijakan dan lain-lain,” katanya.
“Serta tentu saja sebagai masukan bagi perencanaan strategis jangka panjang, pertama adalah pengakhiran Tahapan RPJPN 2005-2025, dan kedua adalah penetapan Strategi Pelaksanaan Visi Indonesia 2045,’ imbuhnya.
Kemudian, Dadang menyebutkan bahwa prospek JFP di masa depan adalah permasalahan gap antara JFP dan struktural. Ia pun mempertanyakan apakah benar JFP punya prospek yang cukup baik bagi seorang PNS untuk menjadikan jabatan fungsional sebagai pilihan hidupnya?
Menurutnya, Pilihan untuk menjadi JFP harus dipenuhi persyaratan-persyaratan, antara lain komitmennya, kompetensinya, kejujurannya dan lain-lain. Hal ini harus terus-menerus diuji secara berkala untuk memberikan kualitas jaminan jabatan fungsionalnya.
“Bagi seorang PNS, tidak ada masalah ketika ditempatkan dalam posisi apapun dan dimanapun hanyalah menjalankan tugas, jadi disini tidak mengenal posisi basah-kering, akan tetapi yang menentukan penghargaan hanya dari perbedaan kinerja,” ungkapnya.
“Sebagai contoh apakah adil penghargaan untuk seorang PNS yang bekerja sampai larut malam disamakan dengan seorang PNS yang hanya baca koran, jalan-jalan ke mall atau bahkan datang ke kantor pun tidak tahu apa yang harus dikerjakannya,” imbuhnya.
Dadang berpendapat bahwa berbagai masukan dan pertimbangan dari JFP banyak yang diabaikan merupakan permasalahan inkonsistensi, sehingga seringkali gagasan yang disiapkan oleh JFP yang memerlukan keputusan struktural tidak diperhatikan dan pertimbangan.
“Padahal di luar instansinya, karya JFP banyak yang menjadi rekomendasi yang dipertimbangkan atau diadopsi oleh para pembuat kebijakan, menjadi acuan bagi partai politik, pemerintahan, dan dunia akademik, publikasi atau kutipan dari publikasi di jurnal akademik, pernyataan publik dan penampilan di media cetak dan elektronik yang mempengaruhi perdebatan kebijakan dan pengambilan keputusan,” tandasnya.
Comentarios