top of page
Search
Writer's pictureDadang Solihin

Pengembangan Industri Pariwisata



Dadang Solihin

Deputi Gubernur DKI Bidang Budaya dan Pariwisata


Permasalahan Industri Pariwisata


Dalam kerangka pengembangan industri pariwisata, terdapat beberapa masalah utama yang dihadapi dan menjadi kendala bagi tumbuhnya industri pariwisata, yaitu: 1). Sinergi Antar Mata Rantai Usaha Pariwisata yang Belum Optimal, 2). Daya Saing Produk Wisata yang Belum Optimal, 3). Kesenjangan Antara Tingkat Harga dengan Pengalaman Wisata, 4). Kemitraan Usaha Pariwisata yang Belum Optimal, 5). Pengembangan Tanggung Jawab Lingkungan Oleh Kalangan Usaha Pariwisata Masih Belum Optimal


1). Sinergi antar Mata Rantai Usaha Pariwisata yang Belum Optimal


Persoalan di lapangan menunjukkan bahwa belum semua destinasi pariwisata didukung oleh operasi dari berbagai jenis usaha kepariwisataan dan sinergi yang baik dalam menciptakan produk dan layanan yang berkualitas bagi wisatawan. Sehingga di satu sisi kualitas industri pariwisata belum bisa berkembang optimal, dan di sisi lain nilai manfaat ekonomi pariwisata juga belum mampu dikembangkan untuk menopang perekonomian daerah setempat.


Dalam kerangka membangun struktur dan mata rantai industri pariwisata yang kokoh dan kondusif, maka diperlukan berbagai bentuk koordinasi yang intensif dan kerja sama/ kemitraan yang baik antar pelaku industri pariwisata dalam berbagai wadah organisasi yang telah dibentuk (GIPI, ASITA, PHRI, HPI, dan sebagainya).


Penguatan struktur industri pariwisata akan semakin cepat dilaksanakan dengan implementasi peran dan tugas GIPI dalam menyusun kode etik usaha pariwisata Indonesia, menyalurkan aspirasi serta memelihara kerukunan dan kepentingan anggota dalam pengembangan industri pariwisata, meningkatkan kerja sama antara pengusaha pariwisata Indonesia dan pengusaha luar negeri dalam pembangunan kepariwisataan, mencegah persaingan usaha pariwisata yang tidak sehat, serta penyebarluasan kebijakan pemerintah di bidang pariwisata.


Penguatan struktur Industri pariwisata juga dilaksanakan melalui peningkatan sinergi dan keadilan distribusi antar mata rantai pembentuk industri pariwisata, sehingga dapat terwujud persaingan usaha pariwisata yang sehat pada segala level.

Permasalahan penguatan struktur Industri pariwisata, sinergi dan keadilan distribusi adalah kurangnya kerja sama dan jejaring antar pelaku usaha pariwisata dalam pengembangan industri pariwisata Indonesia serta tidak adanya database usaha pariwisata yang komprehensif.


Sebagai rencana tindak prioritas untuk penyelesaian permasalahan tersebut adalah peningkatan daya saing industri pariwisata melalui fasilitasi sertifikasi kompetensi dan peningkatan nilai tambah usaha pariwisata skala mikro, kecil, menengah dan koperasi, serta implementasi sertifikasi usaha pariwisata skala besar nasional maupun internasional yang beroperasi di Indonesia.


Selain itu diperlukan kontribusi dan dukungan dari pelaku industri pariwisata melalui optimalisasi peran dan tugas GIPI dalam pembangunan kepariwisataan Indonesia. Sedangkan dukungan dari pemerintah daerah adalah sinergi kebijakan dan kegiatan pemerintah daerah dengan pelaku usaha pariwisata dan pemerintah.


2). Daya Saing Produk Wisata yang Belum Optimal


Peningkatan daya saing produk wisata, yang mencakup daya tarik wisata, fasilitas pariwisata dan aksesibilitas, berpotensi untuk meningkatkan daya saing usaha dan Industri pariwisata Indonesia. Sementara kondisi saat ini ketiga komponen tersebut masih dianggap kurang kecuali daya saing sumber daya budaya dan alam Indonesia yang sangat beragam, unik dan menarik.


Daya saing fasilitas pariwisata Indonesia relatif masih kurang jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Daya saing usaha pariwisata Indonesia masih di bawah ketiga negara tersebut, di atas Philipina dan Brunei Darussalam namun bersaing dengan Vietnam. Keterbatasan jumlah dan ruang lingkup Lembaga Standar Usaha bidang pariwisata merupakan salah satu kendala dalam upaya peningkatan standar usaha pariwisata di Indonesia.


Daya saing aksesibilitas Indonesia secara umum kurang, antara lain terlihat dari kecilnya frekuensi dan jumlah kapasitas tempat duduk penerbangan serta insfrasruktur jalan, pelabuhan dan bandara di berbagai destinasi wisata Indonesia yang terdapat fasilitas/usaha pariwisata. Selama ini, usaha pariwisata di berbagai destinasi wisata Indonesia kurang berkembang karena kurangnya wisatawan yang datang dan menggunakan fasilitas dan jasa usaha pariwisata walaupun mereka telah mempromosikan produk dan jasa usaha pariwisatanya baik yang dilaksanakan masing-masing maupun berkerja sama dengan pihak lain termasuk pemerintah daerah.


Pengembangan Industri Pariwisata yang belum inline atau sesuai dengan pengembangan aksesibilitas telah berakibat pada kurangnya kemampuan usaha pariwisata untuk memenuhi permintaan pasar, yang pada akhirnya menyebabkan kurangnya daya saing fasilitas atau usaha pariwisata Indonesia.


3). Kesenjangan Antara Tingkat Harga dengan Pengalaman Wisata


Kesesuaian tingkat harga dengan kualitas pengalaman (Value for money) yang diperoleh wisatawan di sejumlah destinasi pariwisata seringkali masih menunjukkan adanya kesenjangan, yang mengakibatkan keluhan wisatawan. Dalam konteks kredibilitas bisnis, kondisi tersebut akan menjadi promosi negatif yangberdampak pada penurunan daya saing produk wisata yang kita miliki sehingga tidak mampu bersaing dengan produk sejenis yang dikembangkan oleh kompetitor.


Disisi lain ketidaksesuaikan antara fitur yang dipromosikan dengan realitas yang dijumpai wisatawan/konsumen juga masih sering terjadi di lapangan. Dalam berbagai kasus dan tempat seringkali masih terjadi ketidaksesuaian antara apa yang dipromosikan dengan apa yang didapat dilapangan. Promosi semacam ini dapat dianggap sebagai promosi yang tidak bertanggung jawab, yang membuat kredibilitas produk menjadi diragukan.


Untuk mengangkat daya saing produk, maka upaya promosi harus menerapkan dan menekankan prinsip- prinsip pemasaran pariwisata yang bertanggung jawab (responsible marketing), yang responsif terhadap hak-hak wisatawan, terhadap pelestarian lingkungan dan hak-hak sosial ekonomi masyarakat lokal.


4). Kemitraan Usaha Pariwisata yang Belum Optimal


Kemitraan usaha pariwisata antara industri pariwisata skala besar dengan usaha –usaha ekonomi pariwisata skala Mikro, Kecil dan Menengah masih belum berjalan dengan maksimal. Pengembangan kemitraan usaha dimaksudkan agar peluang dan nilai manfaat berkembangnya kepariwisataan akan dapat dinikmati semua pihak dalam berbagai jenis dan skala usaha.


Oleh karena itu, pola-pola kemitraan antar usaha pariwisata, maupun usaha pariwisata dengan pelaku usaha lainnya di berbagai destinasi pariwisata perlu didorong dan ditingkatkan. Contoh bentuk kemitraan yang dapat dilakukan antara lain adalah kerja sama dalam pengembangan daya tarik wisata, kerja sama promosi dan pemasaran, dll.

Kesadaran untuk mengembangkan kemitraan usaha pariwisata dalam kerangka pemberdayaan masyarakat maupun mendorong tumbuhnya UMKM bidang pariwisata masih memerlukan dorongan dan peran aktif Pemerintah selaku fasilitator dan regulator, agar UMKM bidang pariwisata juga memiliki kemampuan, kapasitas dan akses untuk dapat mengembangkan usaha dan memperolah manfaat ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat setempat.


5). Pengembangan Tanggung Jawab Lingkungan Oleh Kalangan Usaha Pariwisata Masih Belum Optimal


Pengembangan tanggung jawab lingkungan usaha pariwisata, baik lingkungan sosial, alam maupun budaya agar tetap berkelanjutan berpotensi untuk mengembangkan jejaring usaha pariwisata berkelanjutan yang dapat meningkatkan daya saing usaha pariwisata Indonesia.

Permasalahannya adalah masih kecilnya jumlah usaha pariwisata yang memiliki komitmen terhadap tanggung jawab lingkungan dan menerapkan prinsip-prinsip berwawasan lingkungan walaupun permintaan pasar semakin kuat, kurangnya insentif terhadap usaha pariwisata yang menerapkan prinsip-prinsip pembangunan kepariwisataan berkelanjutan, kurangnya alokasi program corporate social responsibility (CSR) usaha pariwisata dan usaha non pariwisata untuk pengembangan pariwisata berbasis pemberdayaan masyarakat lokal.



Potensi Industri Pariwisata


Dalam kerangka pengembangan Industri Pariwisata, terdapat sejumlah potensi yang telah berkembang sebagai modal utama dalam mendorong akselerasi industri pariwisata, antara lain: 1). Pariwisata Menciptakan Rantai Nilai Usaha yang Luas dan Beragam, 2). Daya Saing Produk dan Kredibilitas Bisnis, dan 3). Tanggung Jawab Lingkungan yang Semakin Tinggi


1). Pariwisata Menciptakan Rantai Nilai Usaha yang Luas dan Beragam


Pariwisata merupakan sektor yang memiliki keterkaitan rantai nilai kegiatan yang luas dengan berbagai jenis usaha sehingga mampu menciptakan lapangan usaha yang luas bagi masyarakat. Keterkaitan dan sinergi antar mata rantai usaha kepariwisataan merupakan faktor kunci yang membuat industri pariwisata berjalan dengan baik dan mampu memenuhi harapan wisatawan selaku konsumen. Penguatan sinergitas antar mata rantai pembentuk industri pariwisata harus selalu dibangun dan dikembangkan agar seluruh komponen dan sistem kepariwisataan dapat bergerak dan memberikan kontribusi serta perannya masing-masing dalam menciptakan produk dan pelayanan yang berkualitas bagi wisatawan.


Kompetisi sektor kepariwisatan menuntut kemampuan pelaku industri pariwisata untuk dapat mengembangkan dan menjaga kualitas produk serta kredibilitasnya sehingga memiliki daya saing dan memperoleh kerpercayaan dari kalangan konsumen/pasar.


2). Daya Saing Produk dan Kredibilitas Bisnis


Dalam penilaian tingkat daya saing kepariwisatan, Indonesia memiliki keunggulan dari sisi daya saing sumber daya pariwisata serta daya saing harga. Keunggulan daya saing tersebut diharapkan akan menjadi modal untuk menggerakkan pilar-pilar lain sehingga memiliki daya saing yang lebih tinggi, khususnya dari sisi manajemen atraksi/ daya tarik wisata, fasilitas pariwisata maupun aksesibilitas pariwisata. Upaya peningkatan daya saing produk dan kredibilitas bisnis terus didorong oleh Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui berbagai bentuk bimbingan teknis dan kegiatan sertifikasi usaha pariwisata yang akan didorong secara lebih intensif kedepannya.


3). Tanggung Jawab Lingkungan yang Semakin Tinggi


Era Pariwisata hijau (green tourism) dan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism), telah menumbuhkan kesadaran yang luas dari berbagai pihak dan pemangku kepentingan untuk dapat mengelola dan memberikan perhatian pada aspek-aspek kelestarian lingkungan, melalui pengembangan paket-paket wisata yang mengandung unsur edukasi lingkungan (eco-tourism) maupun penerapan prinsip daur ulang terhadap material atau bahan pendukung operasional usaha pariwisata. Dari sisi pasar wisatawan juga semakin berkembang preferensi untuk memilih destinasi pariwisata yang lebih mengemban misi-misi pelestarian/ tanggung jawab lingkungan. Sehingga potensi tersebut memberi peluang bagi destinasi pariwisata di Indonesia untuk lebih mewujudkan pengelolaan daya tarik dan produk wisata yang berwawasan lingkungan.


Sumber: Permenparekraf No. 12/2020 tentang Renstra Kemenparekraf 2020-2024

1,755 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page