Dadang Solihin
Deputi Gubernur DKI Bidang Budaya dan Pariwisata
Permasalahan Kelembagaan Kepariwisataan
Dalam kerangka pengembangan Kelembagaan kepariwisataan, terdapat beberapa masalah utama yang dihadapi antara lain: 1). Belum meratanya penguatan organisasi yang membidangi kepariwisataan di Daerah, 2). SDM pariwisata dan pengembangan Pendidikan Tinggi Pariwisata yang masih terbatas, dan 3). Koordinasi dan sinkronisasi pembangunan lintas sektor dan regional yang belum efektif
1). Belum Meratanya Penguatan Organisasi yang Membidangi Kepariwisataan di Daerah
Melalui desentralisasi, Pemerintah Daerah dituntut untuk mengelola keuangan daerah secara akuntabel dan transparan. Dengan kebijakan normatif yang ada, pemerintah daerah diberi kesempatan untuk melakukan perubahan kebijakan dan sistem pengelolaan keuangan daerah. Namun, paradigma tersebut belum menjadi persepsi nasional yang merata di segala tingkatan dan tidak tersedianya tata ruang secara nasional dan holistik yang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan sumber- sumber ekonomi, khususnya bagi sektor pariwisata yang berdampak langsung bagi pembangunan ekonomi daerah.
Pariwisata masih dianggap sebagai sektor pilihan, dan belum dianggap sebagai sektor strategis yang memberikan kontribusi berarti bagi pembangunan daerah maupun bagi kesejahteraan masyarakat, sehingga penguatan organisasi yang membidangi pembangunan kepariwisataan belum merata di berbagai daerah. Sebagai akibatnya koordinasi lintas daerah dalam penanganan terpadu aset kepariwisataan yang bersifat lintas wilayah-pun seringkali mengalami kendala dan hambatan. Di sisi lain, lemahnya pemahaman tentang kepariwisataan, seringkali memposisikan kepariwisataan sebagai sektor pelengkap yang tidak memiliki posisi strategis dalam struktur organisasi pembangunan di daerah.
2). SDM Pariwisata dan Pengembangan Pendidikan Tinggi Pariwisata yang Masih Terbatas
Peningkatan daya saing produk pariwisata Indonesia agar memiliki keunggulan banding dan keunggulan saing secara regional dan global harus diimbangi oleh ketersediaan SDM yang kompeten, yang tidak hanya berada pada tataran operasional atau tenaga teknis saja tetapi juga pada tataran akademisi, teknokrat, dan profesional.
Pengembangan SDM Kepariwisataan dapat dilakukan dengan pendekatan pendidikan formal dan pelatihan, baik bagi aparatur, pengusaha industri pariwisata, karyawan pada industri pariwisata maupun masyarakat yang berada di kawasan pariwisata.
Perkembangan pariwisata Indonesia saat ini kurang diimbangi dengan pengembangan SDM bidang pariwisata. Pengembangan SDM bidang pariwisata meliputi aparatur, industri dan masyarakat. Hal ini berguna untuk menunjang pengembangan pariwisata di daerah tersebut.
Dengan akan diberlakukannya kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka tuntutan SDM yang kompeten dan mampu bersaing dengan SDM dari luar negeri akan semakin dipersyaratkan. Saat ini, adanya bonus demografi yang menyediakan SDM secara kuantitas, perlu diimbangi dengan kualitas yang maksimal agar tidak berbalik menjadi bencana demografi.
3). Koordinasi dan Sinkronisasi Pembangunan Lintas Sektor dan Regional Yang Belum Efektif
Isu koordinasi dan kerja sama antara pusat dan daerah muncul sebagai konsekuensi dari implementasi otonomi daerah yang tidak dilandasi dengan prinsip-prinsip Good Governance. Dengan adanya UU Otonomi Daerah maka kewenangan pengembangan produk pariwisata berada di Daerah, sedangkan kewenangan pemasarannya berada di Pusat.
Pengaturan kewenangan ini menimbulkan arogansi Daerah untuk menentukan arah pembangunan dan pengelolaan sumber daya serta wilayah administratifnya masing-masing, sehingga mengakibatkan pengembangan kegiatan kepariwisataan antara Pusat dan Daerah kurang terkoordinasi dengan baik. Begitu pula koordinasi antara pemerintah dan swasta.
Hal ini dapat memicu kecenderungan orientasi pembangunan yang hanya mengejar peningkatan PAD yang mendorong masing-masing daerah berkompetisi secara kurang sehat untuk menarik pasar wisatawan ke daerahnya dengan kebijakan-kebijakan tertentu yang tidak memberikan kenyamanan kunjungan wisatawan dan bahkan mengarah pada eksploitasi berlebihan terhadap objek wisata yang berdampak pada penurunan daya dukung dan kualitas objek tersebut.
Selain itu, ancaman yang paling serius atas implementasi otonomi daerah adalah munculnya paradigma sektoral yang menggilas peran lintas sektoral pariwisata, yang selanjutnya berpengaruh besar terhadap pembangunan faktor pendukung pariwisata seperti aksesibilitas, amenitas, atraksi, dan promosi. Padahal, pembangunan kepariwisataan bersifat borderless, yang berarti pembangunan dan pengelolaannya berlangsung lintas batas administratif dan lintas sektor. Oleh karena itu, hendaknya setiap pemegang kewenangan otonom dan pemangku kepentingan pariwisata harus berpikir nasional (Indonesia) dan bertindak lokal (daerah). Dengan konsep ini, berarti para pemegang kewenangan daerah otonom tidak menutup diri bagi kebijakan pariwisata secara nasional untuk kepentingan kemajuan daerahnya.
Pemerintah dalam hal ini telah mengeluarkan peraturan yang diharapkan mampu mengatasi masalah koordinasi lintas sektoral dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia dengan Perpres No. 64 Tahun 2014, dan Perpres No. 63 Tahun 2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Kepariwisataan. Dengan adanya peraturan ini, maka jelas posisi sektor pariwisata sebagai ujung tombak pembangunan kepariwisataan di Indonesia sehingga diharapkan tujuan dari pembangunan kepariwisataan tercapai dan multiplier effect dari kegiatan pariwisata menjadi lebih besar.
Potensi Pembangunan Kelembagaan Kepariwisataan
Dalam kerangka pembangunan Kelembagaan kepariwisataan, terdapat sejumlah potensi yang dapat diberdayakan sebagai modal utama dalam mendorong peran kelembagaan yang lebih efektif mendukung pembangunan kepariwisataan nasional, antara lain: 1). Penguatan Organisasi, 2). SDM Kepariwisataan, 3). Pariwisata sebagai kegiatan multisektor, borderless dan regulasi yang mendukung, 4). Bonus Demografi Indonesia
1). Penguatan Organisasi
Dalam konteks organisasi kepariwisataan, upaya membangun organisasi yang solid dalam mendukung pembangunan kepariwisataan terus diperkuat oleh Pemerintah sehingga dapat terwujud tata kelola kepariwisataan yang semakin baik (good tourism governance) yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Berbagai upaya pembenahan organisasi di tingkat pusat dan lokal telah dilakukan, diantaranya pembentukan GIPI (Gabungan Industri Pariwisata Indonesia); BPPI (Badan Promosi Pariwisata Indonesia) dan unsur di daerah dalam bentuk BPPD, pembentukan DMO (Destination Management Organization), dan sebagainya.
Dalam konteks internal, reformasi birokrasi kelembagaan dan penguatan mekanisme kinerja organisasi untuk mendukung misi kepariwisataan sebagai portofolio pembangunan nasional juga semakin diperkuat melalui berbagai koordinasi kebijakan, penyusunan, dan evaluasi program kelembagaan dan tata laksana; perumusan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan e-government; koordinasi kebijakan, penyusunan, evaluasi program dan pembinaan integritas sumber daya manusia aparatur; koordinasi kebijakan, penyusunan dan evaluasi program pelayanan publik.
2). SDM Kepariwisataan
Peningkatan produk pariwisata dalam rangka memenangkan persaingan global, harus diimbangi oleh ketersediaan SDM yang kompeten, yang tidak hanya berada pada tataran operasional atau tenaga teknis saja tetapi juga pada tataran akademisi, teknokrat, dan profesional.
Pengembangan SDM Kepariwisataan dapat dilakukan dengan pendekatan pendidikan formal dan pelatihan, baik bagi Aparatur, Pengusaha Industri Pariwisata, Karyawan pada Industri Pariwisata maupun Masyarakat yang berada di kawasan pariwisata.
Penambahan jumlah lembaga pendidikan tinggi kepariwisataan sebagai Unit Pelaksana Teknis yang berada di bawah Kemenparekraf/Baparekraf diharapkan akan mampu menjawab kebutuhan SDM yang kompeten di setiap tataran dan meningkatkan pengetahuan dan wawasan dari SDM Kepariwisataan.
Selain itu, pelaksanaan pelatihan, penyiapan piranti pelaksanaan sertifikasi kompetensi, pembekalan, workshop, sosialisasi, beserta penyiapan kurikulum dan modul pelatihan merupakan bagian dari kegiatan pengembangan SDM kepariwisataan. Pengembangan SDM berbasis kompetensi dilakukan agar dapat memberikan hasil sesuai dengan tujuan dan sasaran organisasi dengan standar kinerja yang telah ditetapkan. Kebutuhan akan SDM pariwisata yang kompeten dapat dilakukan melalui jalur formal dan jalur informal.
Dalam rangka menyiapkan SDM yang kompeten tersebut, telah disiapkan sertifikasi kompetensi SDM bidang pariwisata. Sertifikasi kompetensi merupakan sebuah kebutuhan SDM pada saat ini, hal ini karena sertifikasi kompetensi merupakan bukti nyata bahwa SDM tersebut telah memiliki kompetensi dalam suatu bidang.
Hal tersebut juga berlaku untuk SDM bidang pariwisata, dimana kita akan dihadapkan pada sebuah kompetisi besar pergerakan arus barang dan jasa di dunia yang mengharuskan Kemenparekraf/Baparekraf untuk mempersiapkan SDM yang kompeten di bidang pariwisata dengan melakukan program pelaksanaan sertifikasi SDM pelaku pariwisata; Penyusunan SKKNI bidang pariwisata; serta penyiapan assessor.
3). Pariwisata sebagai kegiatan multisektor, borderless dan regulasi yang mendukung
Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat multisektor dan borderless (tidak mengenal batasan administratif), oleh karenanya pengembangan pariwisata memerlukan koordinasi dan integrasi kebijakan secara intensif untuk mendukung pencapaian visi dan misi pembangunan kepariwisataan sebagai sektor andalan pembangunan nasional, baik dalam rangka mendorong percepatan peningkatan kunjungan wisatawan, untuk meningkatkan penerimaan devisa maupun kontribusi ekonomi bagi daerah guna mendorong usaha-usaha pemberdayaan masyarakat.
Upaya mendukung akselerasi pembangunan kepariwisataan dan koordinasi yang intensif lintas pelaku (sektoral dan regional) tersebut telah memiliki sejumlah payung hukum, antara lain melalui PP Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pariwisata Nasional dan Perpres Nomor 64 Tahun 2014 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Kepariwisataan. Dengan payung hukum tersebut maka Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dapat memanfaatkan akses koordinasi yang lebih efektif dalam mendukung percepatan pembangunan kepariwisataan.
4). Bonus Demografi Indonesia
Indonesia sedang mendapatkan bonus demografi, yaitu kondisi pertumbuhan penduduk terutama penduduk usia produktif (15-64 tahun). Ini merupakan suatu kesempatan karena bonus demografi adalah sumber pertumbuhan ekonomi akibat adanya konsumsi yang tinggi, peningkatan investasi dan produktivitas serta penurunan angka ketergantungan. Bonus demografi selain sebagai potensi pertumbuhan ekonomi juga bisa menjadi bencana demografi jika tanpa kualitas sumber daya manusia yang baik.
Data Badan Pusat Statistik memroyeksikan bahwa pada tahun 2019, kelompok usia produktif akan mencapai besaran 67 persen dari total populasi penduduk dan sebanyak 45 persen dari 67 persen tersebut berusia antara 15–34 tahun. Namun, setelah 2030, angka ketergantungan mulai mengalami peningkatan karena jumlah penduduk usia tua (65 tahun ke atas) meningkat. Hingga pada 2045, Indonesia sudah menjadi aging society dengan perkiraan penduduk tua mencapai 12,45 persen dari total penduduk.
Perubahan struktur penduduk merupakan peluang untuk memanfaatkan produktivitas penduduk usia produktif agar mendorong pertumbuhan ekonomi negara, salah satunya melalui pariwisata. Adanya bonus demografi merupakan potensi bagi industri pariwisata dengan ketersediaan SDM yang dapat diserap menjadi tenaga kerja pariwisata. Tidak hanya secara kuantitas, namun kualitas SDM sendiri perlu diperhatikan karena jika bonus demografi tidak diimbangi dengan pengembangan kualitas SDM akan menjadi bencana demografi.
Sumber: Permenparekraf No. 12/2020 tentang Renstra Kemenparekraf 2020-2024
Comments