top of page
Search

Perda Provinsi DKI Jakarta No. 6/2015 tentang Kepariwisataan

Updated: Oct 26, 2020


Pendahuluan


Jakarta sebagai ibukota negara merupakan bagian dari Kota-Kota di dunia yang harus memiliki keunggulan bersaing sebagai “Kota Jasa” pada era kompetisi global ini. Salah satu keunggulan bersaing harus terus dibangun dan dikembangkan ialah kepariwisataan daerah. Kepariwisataan merupakan suatu kegiatan yang memiliki fungsi strategis dalam menggerakkan seluruh potensi yang dimiliki daerah untuk saling mendukung, berkembang, dan berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan serta pemerataan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. Pembangunan kepariwisataan daerah yang bersifat multidimensi dan multisektoral ini harus diarahkan untuk dapat melibatkan dan memberdayakan seluruh aspek kehidupan masyarakat baik aspek sumber daya manusia, pemanfaatan sumber kekayaan alam dan budaya, destinasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun kerjasama lintas sektor, pemberdayaan usaha kecil dan kerjasama antar kota-kota global.

Saat ini pembangunan kepariwisataan daerah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan. Ketentuan Peraturan Daerah tersebut mengacu pada ketentuan mengenai Kepariwisataan yaitu Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1990. Baik ketentuan Undang-undang maupun Peraturan Daerah tersebut di atas dirasakan baru menitikberatkan pada pengembangan usaha pariwisata dan belum memberikan penguatan terhadap hak pribadi masyarakat dalam menikmati waktu luang dengan berwisata. Selain itu fenomena global juga yang telah menempatkan kepariwisataam ini menjadi kebutuhan dasar dan bagian dari hak asasi manusia yang perlu dihormati, dilindungi dan ditegakkan khususnya bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha Pariwisata maupun Masyarakat.

Dengan kondisi, dinamika, perubahan lingkungan strategis, baik internal maupun eksternal ini serta diundangkannya 2 (dua) Undang-Undang yang memiliki pengaruh secara langsung terhadap Kepariwisataan Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Pemerintah Daerah perlu untuk menyesuaikan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2004. Di harapkan melalui penyesuaian dari ketentuan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2004 ini dapat mendorong terciptanya iklim yang lebih kondusif dalam membangun kepariwisataan daerah, mengiatkan kembali usaha pariwisata serta dapat mendorong peningkatan penanaman modal di bidang pariwisata dengan berorientasi pada peningkatan daya saing, perlindungan terhadap nilai budaya dan agama, serta pemberdayaan usaha kecil dan menengah untuk dapat bersaing dengan para pelaku usaha pariwisata lainnya.

Dalam melengkapi ketentuan mengenai pembangunan kepariwisataan daerah ini, maka materi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini meliputi, antara lain azas tujuan dan kode etik pariwisata, hak dan kewajiban masyarakat, wisatawan, pelaku usaha, dan Pemerintah Daerah, pembangunan kepariwisataan daerah yang komprehensif dan berkelanjutan, koordinasi lintas sektor, pengaturan kawasan strategis, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata, badan promosi pariwisata daerah, asosiasi kepariwisataan daerah, standardisasi usaha, dan kompetensi pekerja pariwisata, serta pemberdayaan pekerja pariwisata melalui pelatihan sumber daya manusia, fasilitas kepariwisataan milik Daerah, retribusi, pembinaan dan pengawasan, ketentuan Iain-Iain, ketentuan pidana, sanksi administrasi dan penyidikan. Melalui pengaturan ini diharapkan Peraturan Daerah dapat meningkatkan daya saing, mendorong inovasi dan kreativitas pembangunan kepariwisataan daerah yang dinamis dan berkelanjutan sesuai dengan karakter dan kapabilitas daerah. Dengan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) pembangunan kepariwisataan daerah diharapkan dapat mewujudkan keunggulan bersaing Jakarta sebagai "Kota Jasa" pada era kompetisi global ini.


PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

NOMOR 6 TAHUN 2015

TENTANG

KEPARIWISATAAN


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,


Menimbang:


a. bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing kota Jakarta di tingkat global, perlu dilakukan pengelolaan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan secara lebih sistimatis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggungjawab;

b. bahwa dalam pengelolaan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan sebagai bagian integral dari pembangunan daerah, maka diperlukan kepastian hukum, kejelasan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah serta hak dan kewajiban masyarakat dan dunia usaha dalam mendorong pemerataan manfaat dan kesempatan berusaha demi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;

c. bahwa penyelenggaraan kepariwisataan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan, tidak sesuai lagi sehingga perlu disempurnakan; \

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Kepariwisataan;


Mengingat:


1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);

4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

5. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744);

6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);

7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);

8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);

9. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);

10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5262);

16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 32);

17. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.85/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Perjalanan Wisata;

18. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.86/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyediaan Akomodasi;

19. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.87/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Makanan dan Minuman;

20. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.88/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Kawasan Pariwisata;

21. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.89/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Transportasi Wisata;

22. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.90/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Daya Tarik Wisata;

23. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.91/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyelenggaraan Kegiatan Hiburan dan Rekreasi;

24. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.92/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Pramuwisata;

25. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.93/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Penyelenggaraan Pertemuan, Perjalanan Insentif, Konferensi, dan Pameran;

26. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.94/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Konsultan Pariwisata;

27. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.95/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Informasi Pariwisata;

28. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.96/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Wisata Tirta;

29. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.97/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha SPA;

30. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1986 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1986 Nomor 91);

31. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2002 Nomor 76);

32. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2007 Nomor 5);

33. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2007 Nomor 8);

34. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2013 (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2013 Nomor 202, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2002);

35. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8);

36. Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 10);

37. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 30 );

38. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2013 Nomor 203, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2003);

39. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2014 Nomor 301, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3001);

40. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2014 Nomor 104, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1008);

41. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2014 Nomor 201, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2004);


Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

dan

GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

MEMUTUSKAN :


Menetapkan:


PERATURAN DAERAH TENTANG KEPARIWISATAAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksudkan dengan :

  1. Daerah adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta selanjutnya disebut Provinsi DKI Jakarta.

  2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur beserta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

  3. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di Daerah.

  4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta.

  5. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang selanjutnya disebut Dinas adalah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

  6. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Perangkat Daerah sebagai unsur pembantu Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

  7. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.

  8. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

  9. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.

  10. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.

  11. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

  12. Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.

  13. Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.

  14. Industri Pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.

  15. Pelaku Industri Pariwisata yang selanjutnya disebut dengan pelaku industri adalah perseorangan atau badan usaha yang memiliki izin usaha di bidang kepariwisataan.

  16. Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.

  17. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk mengembangkan profesionalitas kerja.

  18. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata, pelayanan, dan pengelolaan kepariwisataan.

  19. Waktu penyelenggaraan adalah hari dan jam pelaksanaan kegiatan usaha kepariwisataan.

BAB II

TUJUAN DAN PRINSIP

Pasal 2

Kepariwisataan diselenggarakan dengan tujuan :

a. mendorong pertumbuhan dan produktifitas ekonomi daerah untuk menyejahterakan masyarakat;

b. mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam, lingkungan dan sumber daya manusia beserta hasil budaya dan produk inovasinya dalam meningkatkan citra dan daya saing daerah di tingkat global; dan

c. memperkukuh jati diri, rasa cinta tanah air serta kesatuan bangsa dalam membangun persahabatan antar daerah dan bangsa.

Pasal 3

Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan prinsip:

a. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan;

b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;

c. memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;

d. memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;

e. memberdayakan masyarakat;

f. menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan;

g. mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan

h. memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


BAB III

WEWENANG DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH

Bagian Kesatu Umum

Pasal 4

(1) Pemerintah Daerah mengatur dan mengelola urusan kepariwisataan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(2) Dalam mengatur dan mengelola urusan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah mempunyai wewenang sebagai berikut:

a. menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan;

b. menetapkan destinasi pariwisata;

c. mengkoordinasikan penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan yang meliputi industri, destinasi dan pemasaran pariwisata;

d. melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata;

e. menetapkan daya tarik wisata daerah;

f. memfasilitasi promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata;

g. memfasilitasi pengembangan daya tarik wisata baru;

h. menyelenggarakan pelatihan dan penelitian kepariwisataan;

i. memelihara dan melestarikan daya tarik wisata;

j. menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata; dan

k. mengalokasikan anggaran kepariwisataan.

Pasal 5

Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban:

a. menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, keamanan, keselamatan dan kenyamanan bagi wisatawan;

b. mendorong penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional dan daerah;

c. menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata dengan memberikan kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi, dan memberikan kepastian hukum;

d. melindungi dan mengembangkan usaha mikro, kecil, menengah, dan besar dalam bidang usaha pariwisata;

e. memelihara, mengembangkan, melestarikan dan merevitalisasi aset daerah yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali; dan

f. mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.

g. melakukan kajian, penelitian dan pengembangan destinasi pariwisata secara berkesinambungan.

Bagian Kedua

Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan

Pasal 6

(1) Pembangunan kepariwisatan daerah dilaksanakan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah.

(2) Rencana induk kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan yang memuat:

a. visi, misi, tujuan, sasaran dan arah pembangunan kepariwisataan daerah;

b. arah kebijakan, strategi dan indikasi program sebagai penjabaran arah pembangunan kepariwisataan daerah;

c. pengembangan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan menengah dalam penyelenggaraan kepariwisataan; dan

d. kebutuhan penyediaan pembiayaan yang ditanggung oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat.

(3) Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan.




(1) Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, harus memperhatikan:

a. rencana induk kepariwisataan nasional;

b. rencana pembangunan jangka panjang daerah; dan

c. rencana tata ruang wilayah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 8

(1) Rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dijabarkan dalam Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk kurun waktu 5 (lima) tahun.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rencana Aksi Daerah (RAD) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB IV

HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT

Bagian Kesatu Hak Masyarakat

Pasal 9

(1) Setiap orang berhak:

a. memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata;

b. melakukan usaha pariwisata;

c. menjadi pekerja pariwisata; dan/atau

d. berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan.

(2) Setiap orang dan/atau masyarakat di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas:

a. menjadi pekerja;

b. konsinyasi;

c. pengelolaan; dan/atau

d. penanam modal.

Pasal 10

(1) Setiap wisatawan berhak memperoleh:

a. informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata;

b. pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar;

c. perlindungan hukum dan keamanan;

d. pelayanan kesehatan;

e. perlindungan hak pribadi; dan

f. perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi.

(2) Wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 11

Setiap pengusaha pariwisata berhak:

a. Mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan;

b. membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan;

c. mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha;dan

d. mendapatkan fasilitas sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.

Bagian Kedua Kewajiban

Pasal 12

Setiap orang berkewajiban:

a. menjaga dan melestarikan daya tarik dan destinasi wisata; dan

b. membantu terciptanya suasana aman, tertib, bersih, berperilaku santun, dan menjaga kelestarian lingkungan destinasi pariwisata.

Pasal 13

Setiap wisatawan berkewajiban:

a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;

b. memelihara dan melestarikan lingkungan;

c. turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan; dan

d. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum.

Pasal 14

Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban:

a. menjaga dan menghormati norma agama, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;

b. memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;

c. memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;

d. memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan;

e. memberikan perlindungan asuransi pada wisatawan terhadap kegiatan berisiko tinggi yang dapat dipertanggungjawabkan;

f. mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;

g. mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;

h. meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;

i. menjalani sertifikasi rutin di dalam memenuhi standar usaha dan standar kompetensi;

j. berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat;

k. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;

l. memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;

m. memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya daerah;

n. menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab;

o. menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

p. menyampaikan laporan setiap tahunnya kepada Pemerintah Daerah;

q. memenuhi persyaratan dalam hal mempekerjakan tenaga asing;

r. khusus pengusaha tempat hiburan malam wajib melakukan pencegahan terhadap pengunjung di bawah umur masuk ke tempat usahanya;

s. mencegah pengunjung dibawah umur 21 (dua puluh satu) tahun membeli dan mengkonsumsi minuman beralkohol di lingkungan tempat usahanya; dan

t. mengawasi dan melaporkan apabila terjadi transaksi dan atau penggunaan/konsumsi narkoba dilingkungan tempat usahanya.

Pasal 15

(1) Setiap pengusaha yang menyelenggarakan usaha pariwisata wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan ditempat usaha pariwisata itu berada.

(2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban pengusaha yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya usaha yang pelaksanaannya dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

(3) Pengusaha yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 16

(1) Setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik daya tarik wisata.

(2) Merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah melakukan perbuatan mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies tertentu, mencemarkan lingkungan, memindahkan, mengambil, menghancurkan, atau memusnahkan daya tarik wisata sehingga berakibat berkurang atau hilangnya keunikan, keindahan, dan nilai autentik suatu daya tarik wisata yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

BAB V

INDUSTRI PARIWISATA

Bagian Kesatu Umum

Pasal 17

Industri pariwisata merupakan kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.

Pasal 18

Industri pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, meliputi:

a. daya tarik wisata;

b. kawasan pariwisata;

c. jasa transportasi wisata;

d. jasa perjalanan wisata;

e. jasa makanan dan minuman (kuliner);

f. penyediaan akomodasi;

g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;

h. penyelenggaraan kegiatan-kegiatan seperti acara festival, karnaval, parade;

i. jasa pemasaran dan promosi destinasi;

j. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;

k. jasa informasi pariwisata;

l. jasa konsultan pariwisata;

m. jasa pramuwisata;

n. wisata tirta dan wisata bahari; dan

o. Solus Per Aqua (SPA).

Bagian Kedua

Daya Tarik Wisata

Pasal 19

(1) Daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, merupakan usaha yang kegiatannya mengelola daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan daya tarik wisata buatan/binaan manusia.

(2) Usaha daya tarik wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. usaha mengelola daya tarik wisata alam;

b. usaha mengelola daya tarik wisata budaya; dan

c. usaha mengelola daya tarik wisata buatan.

Pasal 20

(1) Usaha mengelola daya tarik wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a, merupakan usaha pemanfaatan sumber daya alam dan tata lingkungannya.

(2) Usaha mengelola daya tarik wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. kepulauan;

b. laut;

c. pantai;

d. pesisir;

e. sungai;

f. situ/danau;

g. budidaya agro, flora dan fauna; dan

h. taman dan hutan kota.

(3) Kegiatan usaha mengelola daya tarik wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi :

a. penyediaan prasarana dan sarana bagi wisatawan;

b. pengelolaan usaha daya tarik wisata alam; dan

c. penyediaan prasarana dan sarana bagi masyarakat sekitar untuk berperan serta dalam kegiatan usaha daya tarik wisata alam.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha pengelolaan daya tarik wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 21

(1) Usaha mengelola daya tarik budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b, merupakan usaha pengembangan seni budaya sebagai daya tarik wisata.

(2) Usaha mengelola daya tarik wisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. situs peninggalan bersejarah dan purbakala;

b. cagar budaya;

c. gedung bersejarah;

d. monumen;

e. museum;

f. kampung kebudayaan lokal;

g. kegiatan seni dan budaya; dan

h. galeri seni dan budaya.

(3) Kegiatan usaha daya tarik wisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:

a. penyediaan prasarana dan sarana bagi wisatawan;

b. pengelolaan usaha daya tarik wisata budaya;dan

c. penyediaan prasarana dan sarana bagi masyarakat di sekitarnya untuk berperan serta dalam kegiatan usaha daya tarik wisata.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha daya tarik budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 22

(1) Usaha mengelola daya tarik wisata buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c merupakan usaha pemanfaatan potensi kawasan yang dibuat atau diciptakan sebagai daya tarik wisata.

(2) Usaha mengelola daya tarik wisata buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. bangunan arsitektur kota;

b. bandara, pelabuhan, dan stasiun;

c. pasar tradisional;

d. sentra perbelanjaan modern;

e. tempat ibadah; dan

f. tempat-tempat wisata buatan

(3) Kegiatan usaha daya tarik wisata buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. penyediaan prasarana dan sarana bagi wisatawan;

b. pengelolaan usaha daya tarik wisata buatan; dan

c. penyediaan prasarana dan sarana bagi masyarakat di sekitarnya untuk berperan serta dalam kegiatan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha mengelola daya tarik wisata buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Bagian Ketiga

Kawasan Pariwisata

Pasal 23

Kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b merupakan usaha yang kegiatannya membangun dan/atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.

Pasal 24

(1) Usaha kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, meliputi:

a. kawasan dan jalur wisata;dan

b. kawasan pariwisata khusus.

(2) Usaha kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. penyewaan lahan yang telah dilengkapi dengan prasarana sebagai tempat untuk menyelenggarakan usaha pariwisata dan fasilitas pendukung lainnya; dan

b. penyediaan bangunan untuk menunjang kegiatan pariwisata di dalam kawasan pariwisata.

(3) Pengembangan usaha kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Gubernur.

Bagian Keempat

Jasa Transportasi Wisata

Pasal 25

Usaha Jasa Transportasi Wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c, merupakan usaha khusus yang menyediakan angkutan untuk kebutuhan dan/atau kegiatan pariwisata, bukan angkutan transportasi regular/umum.

Pasal 26

(1) Penyelenggaraan usaha jasa transportasi wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. mengangkut wisatawan atau rombongan;

b. merupakan pelayanan angkutan dari dan menuju daerah tujuan wisata atau tempat lainnya; dan

c. jenis angkutan dapat berupa angkutan bermotor maupun tidak bermotor.

(2) Usaha jasa transportasi wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. angkutan jalan wisata;

b. angkutan kereta api wisata;

c. angkutan sungai dan situ wisata;

d. angkutan penyeberangan pulau wisata;

e. angkutan laut domestik wisata; dan

f. angkutan laut internasional wisata.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan jasa transportasi wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Bagian Kelima

Jasa Perjalanan Wisata

Pasal 27

Usaha jasa perjalanan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d merupakan :

a. usaha biro perjalanan wisata; dan

b. usaha agen perjalanan wisata.

Pasal 28

(1) Usaha biro perjalanan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, berupa usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah.

(2) Usaha biro perjalanan wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki Paket Wisata yang merupakan rangkaian dari perjalanan wisata yang tersusun lengkap disertai harga dan persyaratan tertentu.

Pasal 29

Usaha agen perjalanan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b, meliputi usaha jasa pemesanan sarana seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan.

Pasal 30

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha jasa perjalanan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29, diatur dengan Peraturan Gubernur.

Bagian Keenam

Jasa Makanan dan Minuman

Pasal 31

Usaha jasa makanan dan minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e, merupakan usaha jasa makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan dan/atau penyajian.

Pasal 32

(1) Usaha jasa makanan dan minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, meliputi seluruh jenis usaha dalam bidang usaha jasa makanan dan minuman.

(2) Bidang usaha jasa makanan dan minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis usaha :

a. restoran;

b. rumah makan;

c. bar/rumah minum;

d. kafe;

e. pusat penjualan makanan/kafetaria;

f. jasa boga;dan

g. bakeri.

(3) Usaha jasa makanan dan minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilengkapi dengan pelayanan lain bagi pengguna jasa, sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 33

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha jasa makanan dan minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, diatur dengan Peraturan Gubernur

Bagian Ketujuh

Penyediaan Akomodasi

Pasal 34

Usaha Penyediaan Akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf f, merupakan usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya.

Pasal 35

(1) Usaha penyediaan akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 meliputi seluruh jenis usaha dalam bidang usaha penyediaan akomodasi.

(2) Usaha Penyediaan Akomodasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis usaha :

a. hotel;

b. bumi perkemahan

c. persinggahan karavan;

d. vila;

e. pondok wisata;

f. motel;

g. losmen;

h. resort wisata;

i. penginapan remaja;

j. hunian wisata; dan

k. wisma.

(3) Usaha Hotel, Motel dan Pondok Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibedakan berdasarkan kelengkapan dan kondisi bangunan, peralatan, pengelolaan serta mutu pelayanan sesuai dengan persyaratan penggolongan.

(4) Kriteria penentuan jenis usaha penyediaan akomodasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha penyediaan akomodasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Bagian Kedelapan

Penyelenggaraan Kegiatan Hiburan dan Rekreasi

Pasal 36

Usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf g, merupakan usaha penyelenggaraan kegiatan berupa usaha seni pertunjukan, arena permainan, karaoke, serta kegiatan hiburan dan rekreasi lainnya yang bertujuan untuk pariwisata dan bersifat komersial.

Pasal 37

(1) Usaha penyediaan kegiatan hiburan dan rekreasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 36, meliputi seluruh jenis usaha dalam bidang usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi.

(2) Bidang usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi jenis usaha:

a. gelanggang olahraga;

b. pemutaran film;

c. gelanggang seni;

d. arena permainan;

e. hiburan malam (diskotik, pub, musik hidup, kafe, karaoke dan lain-lain);

f. taman rekreasi;

g. hiburan kesehatan;

h. hiburan musik; dan

i. jasa impresariat/promotor.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan rekreasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan jenis kegiatan hiburan rekreasi lainnya diatur dengan Peraturan Gubernur.

Bagian Kesembilan

Penyelenggaraan Kegiatan Usaha, Pertemuan, Perjalanan Insentif, Konferensi, dan Pameran

Pasal 38

Usaha penyelenggaraan kegiatan usaha, pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf j, merupakan usaha yang memberikan jasa bagi suatu pertemuan sekelompok orang, menyelenggarakan perjalanan insentif bagi karyawan dan mitra usaha sebagai imbalan atas prestasinya, serta menyelenggarakan pameran dalam rangka menyebarluaskan informasi dan promosi suatu barang dan jasa yang berskala nasional, regional, dan internasional.

Pasal 39

(1) Bidang Usaha penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, digolongkan menjadi:

a. bidang pertemuan/rapat;

b. bidang kongres, konferensi atau konvensi;

c. bidang perjalanan insentif; dan

d. bidang pameran.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Bagian Kesepuluh

Jasa Informasi dan Konsultan Pariwisata

Pasal 40

(1) Usaha Jasa Informasi Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf k, merupakan usaha yang menyediakan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak, dan/atau elektronik.

(2) Usaha Jasa Konsultan Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf l, merupakan usaha yang menyediakan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran di bidang kepariwisataan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha jasa informasi dan konsultan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Gubernur.

Bagian Kesebelas

Jasa Pramuwisata

Pasal 41

(1) Usaha Jasa Pramuwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf m, merupakan usaha yang menyediakan jasa dan/atau mengelola tenaga pramuwisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan/atau kebutuhan biro perjalanan wisata.

(2) Usaha jasa pramuwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu jasa yang diberikan oleh seseorang berupa bimbingan, penerangan dan petunjuk tentang daya tarik wisata serta membantu segala sesuatu yang diperlukan oleh wisatawan sesuai dengan etika profesinya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jasa pramuwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Gubernur.

Bagian Keduabelas

Wisata Tirta dan Wisata Bahari

Pasal 42

(1) Usaha Wisata Tirta dan Wisata Bahari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf n, merupakan usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan prasarana dan sarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha Wisata Tirta dan usaha Wisata Bahari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Bagian Ketigabelas

Solus Per Aqua (SPA)

Pasal 43

(1) Usaha Solus Per Aqua (SPA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf o, merupakan perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, rempah-rempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan untuk menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha Solus Per Aqua (SPA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB VI

DESTINASI PARIWISATA

Pasal 44

Destinasi Pariwisata Daerah digolongkan dalam beberapa kelompok:

a. destinasi perbelanjaan (mall, pusat perdagangan dan grosir);

b. destinasi kebudayaan (museum, seni budaya, bangunan, peninggalan sejarah dan perkampungan budaya);

c. destinasi kebaharian dan tirta;

d. destinasi religi;

e. destinasi sumber daya alam;

f. destinasi MICE/pertemuan, insentif, konferensi, pameran;

g. destinasi minat khusus;

h. destinasi hiburan; dan

i. destinasi event (festival, karnaval, parade).

Pasal 45

Pembangunan Destinasi Pariwisata Daerah dilakukan melalui:

a. pemberdayaan masyarakat;

b. pembangunan daya tarik wisata;

c. pembangunan aksesibilitas pariwisata;

d. pembangunan sarana, prasarana dan fasilitas umum; dan

e. pembangunan fasilitas pariwisata.

Pasal 46

(1) Pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan destinasi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, dilakukan melalui:

a. peningkatan potensi dan kapasitas sumber daya lokal melalui pengembangan usaha produktif di bidang pariwisata;

b. meningkatkan dan mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah sebagai penyedia produk pendukung di bidang pariwisata;

c. mendorong perkembangan Usaha Pariwisata skala usaha mikro, kecil dan menengah yang dikembangkan masyarakat lokal;

d. penguatan kemitraan rantai nilai antar usaha di bidang Kepariwisataan;

e. optimalisasi pengarusutamaan gender melalui Pembangunan Kepariwisataan;

(2) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui kerjasama dan kemitraan antara Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya, pelaku industri pariwisata, dunia usaha, dan masyarakat.

Pasal 47

(1) Pembangunan daya tarik wisata dalam penyelenggaraan destinasi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b, dilakukan melalui:

a. perintisan pengembangan daya tarik wisata;

b. pemantapan dan revitalisasi daya tarik wisata;

c. pengembangan seni dan budaya daerah sebagai daya tarik wisata.

(2) Pembangunan daya tarik wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan prinsip menjunjung tinggi nilai agama dan budaya, serta keseimbangan antara upaya pengembangan manajemen atraksi untuk menciptakan daya tarik wisata yang berkualitas, berdaya saing, serta mengembangkan upaya konservasi untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber daya.

Pasal 48

(1) Pembangunan aksesibilitas pariwisata dalam penyelenggaraan destinasi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf c, dilakukan melalui:

a. penyediaan dan pengembangan sarana dan prasarana transportasi;

b. penyediaan dan pengembangan sistem transportasi.

(2) Pembangunan aksesibilitas pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk mendukung pengembangan kepariwisataan daerah dan pergerakan wisatawan menuju dan di dalam destinasi pariwisata.

(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah memiliki peran dan tanggung jawab untuk membangun aksesibilitas pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan swasta dan masyarakat untuk membangun aksesibilitas pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49

(1) Pembangunan prasarana dan peyediaan fasilitas umum dalam penyelenggaraan destinasi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf d, dilakukan melalui:

a. penyediaan prasarana dan fasilitas umum yang memadai;

b. peningkatan kualitas prasarana dan fasilitas umum dengan mengembangkan ciri khas daerah;

pengendalian prasarana umum dan pembangunan fasilitas umum pada destinasi pariwisata yang sudah melampaui ambang batas daya dukung.

(2) Pembangunan prasarana dan penyediaan fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab bersama dari Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya, pelaku industri, dunia usaha, dan masyarakat.

Pasal 50

(1) Pembangunan fasilitas pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf e, berupa:

a. fasilitas akomodasi;

b. fasilitas rumah makan;

c. fasilitas informasi dan pelayanan pariwisata, fasilitas pelayanan keimigrasian, pusat informasi pariwisata (tourism information center), dan e-tourism kios;

d. polisi pariwisata dan satuan tugas wisata;

e. toko cinderamata (souvenir shop);

f. penunjuk arah/papan informasi wisata/rambu lalu lintas wisata (tourism sign and posting);

g. bentuk bentang lahan (landscaping); dan

h. fasilitas seni pertunjukan.

(2) Pembangunan fasilitas kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kerjasama antara Pemerintah Daerah, Instansi terkait, pelaku industri, dan masyarakat.

Pasal 51

(1) Fasilitas kepariwisataan yang merupakan milik daerah, dikelola dan dikembangkan oleh Pemerintah Daerah.

(2) Pengelolaan dan pengembangan fasilitas pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan fasilitas pariwisata milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.

BAB VII

PEMASARAN PARIWISATA

Pasal 52

(1) Pemerintah Daerah membangun pemasaran pariwisata daerah yang dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

(2) Pembangunan pemasaran pariwisata daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara bertanggungjawab melalui:

a. pengembangan pasar wisatawan;

b. pengembangan citra pariwisata; dan

c. pengembangan kemitraan pemasaran pariwisata.

Pasal 53

(1) Pengembangan pasar wisatawan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a, dilakukan melalui pemantapan segmen pasar wisatawan masal dan pengembangan segmen ceruk pasar untuk mengoptimalkan pengembangan destinasi pariwisata daerah dan dinamika pasar global.

(2) Pengembangan pasar wisatawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Pemerintah Daerah bersama para pemangku kepentingan dengan:

a. meningkatkan pemasaran dan promosi Destinasi Pariwisata Daerah yang menjadi prioritas;

b. memperbanyak intensitas pemasaran dan promosi pada pasar utama, baru, dan berkembang;

c. mengembangkan pemasaran dan promosi untuk meningkatkan pertumbuhan segmen ceruk pasar;

d. mengembangkan promosi berbasis tema tertentu;

e. meningkatkan akselerasi pergerakan wisatawan di seluruh Destinasi Pariwisata; dan

f. meningkatkan intensifikasi pemasaran wisata konvensi, insentif dan pameran yang diselenggarakan oleh sektor lain.

Pasal 54

(1) Pengembangan citra pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b, dilakukan melalui peningkatan dan pemantapan citra pariwisata daerah dan citra destinasi pariwisata secara berkelanjutan sebagai destinasi pariwisata yang aman, nyaman dan berdaya saing;

(2) Pengembangan citra pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Pemerintah Daerah bersama para pemangku kepentingan melalui:

a. peningkatan dan pemantapan posisi citra pariwisata daerah dan citra destinasi pariwisata diantara para pesaing;

b. eksplorasi kekuatan utama yang dimiliki daerah dan destinasi pariwisata;

BAB VIII

KAWASAN STRATEGIS

Pasal 55

Pemerintah Daerah menetapkan kawasan strategis pariwisata dengan memperhatikan aspek:

a. sumber daya pariwisata alam dan budaya daerah yang potensial menjadi daya tarik pariwisata;

b. potensi pasar;

c. perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup;

d. lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan budaya daerah;

e. kesiapan dan dukungan masyarakat; dan

f. kekhususan dari wilayah.

Pasal 56

(1) Kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, terdiri dari:

a. kawasan wisata belanja;

b. kawasan wisata budaya;

c. kawasan wisata bahari dan tirta;

d. kawasan wisata religi;

e. kawasan wisata alam;

f. kawasan wisata konvensi dan pameran;

g. kawasan wisata agro;

h. kawasan wisata pesisir; dan

i. kawasan wisata kuliner.

(2) Penentuan kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian integral dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

BAB IX

PENDAFTARAN USAHA

Pasal 57

Setiap penyelenggara usaha pariwisata baik perorangan maupun badan usaha wajib memiliki Tanda Daftar Usaha Pariwisata yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.

BAB X

WAKTU PENYELENGGARAAN USAHA PARIWISATA

Pasal 58

(1) Untuk menghormati bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha, penyelenggaraan usaha pariwisata wajib tutup pada:

a. satu hari sebelum dan selama bulan Ramadhan;

b. satu hari sebelum Hari Raya Idul Fitri/Malam Takbiran;

c. hari pertama dan kedua Hari Raya Idul Fitri;

d. satu hari setelah Hari Raya Idul Fitri;

e. satu hari sebelum Hari Raya Idul Adha; dan

f. Hari Raya Idul Adha.

(2) Jenis usaha pariwisata yang wajib tutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. klab malam;

b. diskotik;

c. mandi uap;

d. griya pijat ;

e. permainan mesin keping jenis bola ketangkasan; dan

f. usaha bar yang berdiri sendiri dan yang terdapat pada klab malam, diskotik, mandi uap, griya pijat, permainan mesin keping jenis bola ketangkasan.

(3) Usaha karaoke, musik hidup, dan bola sodok dapat menyelenggarakan kegiatan pada bulan Ramadhan dengan pengaturan waktu ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.

(4) Waktu penyelenggaraan jenis usaha wisata hiburan malam dimulai pada pukul 20.00 sampai dengan pukul 02.00 dini hari, kecuali pada hari Jum’at dan Sabtu dimulai pada pukul 20.00 sampai dengan pukul 03.00 dini hari.

(5) Terhadap penyelenggaraan jenis usaha diskotik yang diselenggarakan menyatu dengan kawasan komersial dan area hotel minimal bintang empat, serta tidak berdekatan dengan permukiman warga, rumah ibadah, sekolah dan rumah sakit dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak berlaku untuk kegiatan yang diselenggarakan di hotel berbintang.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu dan tempat penyelenggaraan usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB XI

KERJASAMA DAN KEMITRAAN

Pasal 59

(1) Gubernur dapat bekerjasama dengan Kepala Daerah Pemerintah Daerah lain dan/atau negara lain dalam penyelenggaraan usaha pariwisata untuk mencapai tujuan penyelenggaraan kepariwisataan yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas dan saling menguntungkan.

(2) Ketentuan mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Bersama dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 60

(1) Gubernur berkewajiban memfasilitasi kemitraan usaha dalam penyelenggaraan kepariwisataan dengan mengutamakan pelaku usaha mikro dan kecil.

(2) Setiap penanggungjawab usaha pariwisata harus melakukan kemitraan usaha dengan pelaku usaha mikro atau kecil.

(3) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam bentuk:

a. penyediaan barang dan/atau jasa dalam penyelenggaraan usaha pariwisata;

b. kerjasama dalam penyediaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia kepariwisataan; dan

c. kerjasama pemasaran.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan usaha pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB XII

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Pasal 61

(1) Pemerintah Daerah melakukan penelitian dan pengembangan kepariwisataan untuk memberikan masukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan dalam kebijakan dan strategi penyelenggaraan kepariwisataan.

(2) Penelitian dan pengembangan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam ruang lingkup pembangunan kepariwisataan yang meliputi industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.

(3) Penelitian dan pengembangan kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan melalui kegiatan riset, kajian, survei, seminar, semiloka, lokakarya, diskusi dan bentuk kegiatan ilmiah lainnya.

Pasal 62

(1) Penelitian dan pengembangan kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dapat dilaksanakan oleh gabungan industri pariwisata daerah, asosiasi/lembaga kepariwisataan, konsultan pariwisata, lembaga pendidikan, dan lembaga penelitian.

(2) Penelitian dan pengembangan kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dapat bekerjasama atau melibatkan peneliti dan lembaga asing yang memenuhi persyaratan dan dilakukan atas dasar izin berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penelitian bagi orang asing.

Pasal 63

(1) Pemerintah Daerah memfasilitasi kegiatan ekonomi kreatif yang dilakukan oleh pelaku industri, dunia usaha dan masyarakat sebagai bagian dari pengembangan kepariwisataan daerah.

(2) Fasilitasi yang dilakukan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan kegiatan, riset, kajian, diskusi, seminar, pameran, semiloka, lokakarya dan bentuk kegiatan ilmiah lainnya dalam mendorong pengembangan ekonomi kreatif;

b. meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat serta pemangku kepentingan mengenai pentingnya ekonomi kreatif bagi kemajuan daerah;

c. meningkatkan potensi dan kapasitas sumber daya lokal dalam mengembangkan daya saing ekonomi kreatif; dan

d. penyusunan regulasi dan pemberian insentif dalam mendorong perkembangan pekonomi kreatif yang dikembangkan oleh masyarakat lokal sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.

Pasal 64

Ketentuan lebih lanjut mengenai penelitian dan pengembangan pariwisata serta ekonomi kreatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, Pasal 62 dan Pasal 63, diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB XIII

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN, SERTIFIKASI, STANDARISASI, DAN TENAGA KERJA

Pasal 65

(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan pendidikan pariwisata melalui satuan pendidikan formal dan nonformal.

(2) Pendidikan formal dan nonformal di bidang pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan oleh masyarakat.

(3) Pendidikan formal dan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan.

Pasal 66

(1) Pemerintah Daerah dan masyarakat dapat menyelenggarakan pelatihan pariwisata.

(2) Penyelenggaraan pelatihan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berpedoman pada standar kompetensi profesi kepariwisataan.

Pasal 67

(1) Tenaga kerja di bidang kepariwisataan harus memiliki standar kompetensi melalui sertifikasi kompetensi.

(2) Sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi yang telah mendapat lisensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 68

(1) Produk, pelayanan, dan pengelolaan usaha pariwisata harus memiliki standar usaha.

(2) Standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi usaha yang terbitkan oleh lembaga mandiri yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 69

(1) Pengusaha pariwisata dapat mempekerjakan tenaga kerja warga negara asing setelah mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah.

(2) Untuk mendapatkan izin tenaga kerja warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari organisasi atau asosiasi pekerja profesional kepariwisataan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga kerja warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB XIV

PENANAMAN MODAL

Pasal 70

(1) Pemerintah Daerah mendorong peningkatan penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional dan daerah.

(2) Peningkatan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melalui kegiatan promosi penanaman modal dan dilaksanakan dengan:

a. mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan, dan menyusun materi promosi penanaman modal bidang kepariwisataan;

b. melaksanakan event promosi penanaman modal bidang kepariwisataan di dalam negeri dan ke luar negeri yang melibatkan para pemangku kepentingan; dan

c. pemberian informasi peluang penanaman modal di bidang kepariwisataan.

(3) Kegiatan promosi penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan menyediakan data dan informasi mengenai potensi dan peluang penanaman modal di bidang kepariwisataan.

Pasal 71

Penyelenggara usaha pariwisata dapat memiliki bentuk usaha dan permodalan sebagai berikut:

a. seluruh modalnya dimiliki Warga Negara Republik Indonesia dilakukan oleh perorangan atau badan hukum sesuai dengan perundang-undangan;

b. modal patungan antara Warga Negara Republik Indonesia dan Warga Negara Asing dilakukan oleh badan hukum yang bebentuk Perseroan Terbatas sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan/atau

c. seluruh modalnya dimiliki warga negara asing dalam bentuk penanaman modal asing dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.

Pasal 72

Ketentuan lebih lanjut mengenai penanaman modal di bidang kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan Pasal 71, diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB XV

INSENTIF DAN DISINSENTIF

Bagian Kesatu Insentif

Pasal 73

(1) Insentif dapat diberikan Gubernur kepada penyelenggara usaha pariwisata.

(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa insentif fiskal dan non fiskal yang memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:

a. Memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat;

b. menggunakan dan mengembangkan sumber daya lokal;

c. menyerap dan meningkatkan kapasitas tenaga kerja lokal;

d. mengembangkan potensi kepariwisataan lokal;

e. mengembangkan usaha yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan;

f. meningkatkan citra dan daya saing daerah di tingkat global; dan

g. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi.

Pasal 74

Insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), berupa pemberian keringanan pajak daerah dan/atau pengurangan retribusi daerah.

Pasal 75

(1) Insentif non fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), diberikan berupa pemberian kemudahan dalam penelitian dan pengembangan kepariwisataan, kemudahan bagi tenaga kerja asing di bidang kepariwisataan, kemudahan tanda daftar usaha perizinan, penghargaan, dan/atau publikasi atau promosi.

(2) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam berbentuk:

a. penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal;

b. penyediaan prasarana dan sarana;

c. penyediaan lahan atau lokasi;

d. pemberian bantuan teknis; dan

e. percepatan dalam pendaftaran usaha.

Pasal 76

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif penyelenggaraan kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73, Pasal 74, dan Pasal 75 diatur dengan Peraturan Gubernur.

Bagian Kedua

Disinsentif

Pasal 77

(1) Gubernur memprioritaskan pengenaan disinsentif diarahkan pada kegiatan penyelenggaraan usaha pariwisata yang berdampak negatif pada lingkungan dan/atau tidak sesuai persyaratan teknis yang ditetapkan.

(2) Disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan dengan tetap menghormati hak orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 78

(1) Disinsentif dapat berupa :

a. disinsentif fiskal; dan

b. disinsentif non fiskal.

(2) Disinsentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah yang tinggi.

(3) Disinsentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa persyaratan khusus dalam pendaftaran, kewajiban memberi kompensasi atau imbalan dan/atau pembatasan penyediaan prasarana dan sarana.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian disinsentif penyelenggaraan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB XVI

PENGHARGAAN

Pasal 79

(1) Gubernur dapat memberikan penghargaan Adhikarya Wisata kepada perseorangan, organisasi pariwisata, lembaga pemerintah, serta badan usaha yang berprestasi, berdedikasi, dan memberikan kontribusi dalam peningkatan pembangunan, kepeloporan serta pengabdian di bidang kepariwisataan.

(2) Penghargaan Adhikarya Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan setiap 2 (dua) tahun dalam bentuk piagam, uang, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.

(3) Pelaksanaan pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diusulkan Kepala Dinas setelah berkoordinasi dengan pemangku kepentingan di bidang pariwisata.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan, bentuk penghargaan dan cara pelaksanaan pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 80

Organisasi pelaku usaha bidang pariwisata, dapat memberikan penghargaan kepada masyarakat, tenaga kerja, dan/atau pelaku usaha yang berprestasi, berdedikasi, dan memberikan kontribusi dalam penyelenggaraan kepariwisataan sesuai dengan bidang usaha yang dilakukan.

BAB XVII

INFORMASI KEPARIWISATAAN

Pasal 81

(1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan dan menjamin ketersediaan data dan informasi kepariwisataan yang dibutuhkan masyarakat.

(2) Penyediaan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik melalui teknologi informasi dan komunikasi dan/atau melalui media lainnya.

(3) Penyediaan data dan informasi kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi tugas Kepala Dinas.

Pasal 82

Penyebaran data dan informasi kepariwisataan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, dilakukan melalui :

a. media cetak dalam dan luar negeri;

b. media elektronik dalam dan luar negeri;

c. media online dalam dan luar negeri;

d. booklet, leaflet, flyer, citymap, tourism information center;

e. buku panduan wisata dalam dan luar negeri;

f. media luar ruang dalam dan luar negeri;

g. media info box dalam dan luar negeri; dan

h. kerjasama antar lembaga terkait;

Pasal 83

Data dan informasi kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 memuat antara lain :

a. dokumen rencana induk kepariwisataan;

b. dokumen regulasi dan kebijakan kepariwisataan;

c. data dan informasi wisatawan;

d. data dan informasi usaha pariwisata;

e. data destinasi pariwisata.

BAB XVIII

BADAN PROMOSI PARIWISATA DAERAH

Pasal 84

(1) Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah yang berkedudukan di Ibukota Provinsi dan Kabupaten/Kota melalui persetujuan DPRD.

(2) Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri.

(3) Badan Promosi Pariwisata Daerah dalam melaksanakan kegiatannya wajib berkoordinasi dengan Badan Promosi Pariwisata Indonesia.

(4) Pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 85

Struktur organisasi Badan Promosi Pariwisata Daerah terdiri atas 2 (dua) unsur, yaitu unsur penentu kebijakan dan unsur pelaksana.

Pasal 86

(1) Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 berjumlah 9 (sembilan) orang anggota terdiri atas:

a. wakil asosiasi kepariwisataan 4 (empat) orang;

b. wakil asosiasi profesi 2 (dua) orang;

c. wakil asosiasi penerbangan 1 (satu) orang; dan

d. pakar/akademisi 2 (dua) orang.

(2) Keanggotaan unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Daerah ditetapkan dengan Keputusan Gubernur untuk masa tugas paling lama 4 (empat) tahun.

(3) Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata Daerah dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dibantu oleh seorang sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, persyaratan, serta tata cara pengangkatan dan pemberhentian unsur penentu kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 87

Unsur penentu kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 membentuk unsur pelaksana untuk menjalankan tugas operasional Badan Promosi Pariwisata Daerah.

Pasal 88

(1) Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Daerah dipimpin oleh seorang direktur eksekutif dengan dibantu oleh beberapa direktur sesuai dengan kebutuhan.

(2) Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Daerah wajib menyusun tata kerja dan rencana kerja.

(3) Masa kerja unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Daerah paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa kerja berikutnya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, persyaratan, serta tata cara pengangkatan dan pemberhentian unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Badan Promosi Pariwisata Daerah.

Pasal 89

(1) Badan Promosi Pariwisata Daerah mempunyai tugas:

a. meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia;

b. meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan penerimaan devisa;

c. meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan pembelanjaan;

d. menggalang pendanaan dari sumber selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan

e. melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata.

(2) Badan Promosi Pariwisata Daerah mempunyai fungsi sebagai:

a. koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha di pusat dan daerah; dan

b. mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

(3) Badan Promosi Pariwisata Daerah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya wajib berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah.

Pasal 90

(1) Sumber pembiayaan Badan Promosi Pariwisata Daerah berasal dari:

a. pemangku kepentingan; dan

b. sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(3) Pengelolaan dana yang bersumber dari non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah wajib diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.

BAB XIX

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 91

(1) Masyarakat mempunyai peran dan kesempatan yang sama dalam penyelenggaraan dan pengembangan kepariwisataan daerah.

(2) Peran dan kesempatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara :

a. turut menjaga daya tarik wisata beserta dan kelestarian lingkungan destinasi pariwisata;

b. berpartisipasi secara aktif di dalam menjaga citra Kota Jakarta sebagai destinasi pariwisata yang berdaya saing global;

c. turut membantu terciptanya kondisi kepariwisataan daerah yang aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah dan kenangan

d. menumbuhkembangkan kepeloporan masyarakat di dalam pembangunan kepariwisataan;

e. turut menggali dan mengembangkan potensi serta sumberdaya yang dimiliki daerah dalam mengembangkan kepariwisataan;

f. menyampaikan informasi, laporan, saran, aspirasi dan/atau kritik dalam rangka pembangunan kepariwisataan;

g. membentuk organisasi, asosiasi industri dan profesi serta lembaga kemasyarakatan lain dalam mendukung pengembangan kepariwisataan; dan

h. turut meningkatkan kualitas sumber daya manusia kepariwisataan melalui penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kepariwisataan.

(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya diatur oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas.

BAB XX

PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH

Pasal 92

Penyelenggaraan usaha pariwisata dikenakan pajak daerah yang harus dibayarkan oleh penyelenggara usaha pariwisata sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah.

Pasal 93

Pelayanan dalam penyelenggaraan usaha pariwisata yang diselenggarakan oleh Pemerintah dikenakan retribusi daerah yang harus dibayarkan oleh penyelenggara usaha pariwisata sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah.

BAB XXI

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu Pembinaan

Pasal 94

Pemerintah Daerah melakukan pembinaan penyelenggaraan kepariwisataan, melalui:

a. sosialisasi;

b. bimbingan teknis, supervisi dan konsultasi;

c. pendidikan dan pelatihan;

d. penelitian dan pengembangan;

e. pengembangan sistem informasi;

f. penyebarluasan informasi kepada masyarakat; dan

g. pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.

Pasal 95

(1) Sosialisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf a, dilakukan dengan penyampaian secara interaktif materi muatan atau substansi ketentuan peraturan perundang-undangan penyelenggaraan kepariwisataan melalui media tatap muka dan/atau media elektronik.

(2) Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf b, dilaksanakan melalui:

a. pemberian bimbingan teknis dalam peningkatan standar kualitas pelayanan kepariwisataan;

b. pemberian supervisi kepada pemangku kepentingan; dan

c. pemberian konsultasi pelaksanaan penyelenggaraan kepariwisataan bagi pemangku kepentingan.

(3) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf c, dilaksanakan melalui kegiatan:

a. penyelenggaraan dan fasilitasi pendidikan dan pelatihan bagi sumber daya manusia pariwisata;

b. penyusunan program dan kegiatan pendidikan dan pelatihan sesuai kebutuhan pemangku kepentingan yang menjadi sasaran pembinaan;

c. penerapan sistem sertifikasi dalam penyelenggaraan dan fasilitasi pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja di bidang pariwisata;

d. evaluasi hasil pendidikan dan pelatihan dari sumber daya manusia pariwisata.

(4) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf d, dilaksanakan sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam meningkatkan daya saing kepariwisataan.

(5) Pengembangan sistem informasi dan komunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf e, sebagai upaya untuk mengembangkan sistem informasi kepariwisataan daerah yang mutakhir, efisien, dan terpadu, melalui penyediaan basis data dan informasi kepariwisataan dengan mengembangkan jaringan sistem elektronik.

(6) Penyebarluasan informasi kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf f, sebagai upaya untuk mempublikasikan berbagai aspek dalam penyelenggaraan dan pengembangan kepariwisataan melalui media informasi dan media cetak yang mudah dijangkau oleh masyarakat.

(7) Pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf g, sebagai upaya menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengembangan kepariwisataan daerah yang berdaya saing global.

Pasal 96

Kegiatan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94, dapat dilaksanakan oleh masyarakat, pelaku usaha, dan Badan Promosi Pariwisata Daerah

Bagian Kedua

Pengawasan dan Penindakan

Pasal 97

(1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan penyelenggaraan kepariwisataan.

(2) Pengawasan penyelenggaraan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam bentuk:

a. pemeriksaan lapangan;

b. evaluasi; dan

c. pelaporan.

(3) Pemerintah Daerah melakukan penindakan dengan memberikan sanksi administratif terhadap usaha pariwisata yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan dan penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB XXII

SANKSI

Bagian Kesatu

Pengusaha Pariwisata

Pasal 98

(1) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi kewajiban sesuai ketentuan dalam Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 58 ayat (4) dikenai sanksi administratif.

(2) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan pelaksanaan usaha pariwisata dikenai sanksi administratif.

(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa :

a. teguran tertulis pertama;

b. teguran tertulis kedua;

c. teguran tertulis ketiga;

d. usulan pembekuan sementara terhadap pendaftaran usaha pariwisata dan Tanda Daftar Usaha Pariwisata;

e. usulan pembatalan Tanda Daftar Usaha Pariwisata;dan

f. pencabutan Tanda Daftar Usaha Pariwisata.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Gubernur.

Pasal 99

Setiap pengusaha dan/atau management perusahaan hiburan malam yang terbukti melakukan pembiaran terjadinya peredaran, penjualan dan pemakaian narkoba dan/atau zat adictive di lokasi tempat usaha hiburan malam, dilakukan pencabutan Tanda Daftar Usaha Pariwisata.

Bagian Kedua

Wisatawan

Pasal 100

(1) Setiap orang dan/atau kelompok serta wisatawan yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 16, dikenai sanksi berupa teguran lisan disertai dengan pemberitahuan mengenai kewajiban yang harus dipenuhi.

(2) Apabila telah diberi teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak diindahkan, yang bersangkutan dapat diberikan sanksi berupa denda administrasi paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah).

(3) Denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib disetorkan ke Kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XXIII

PENYIDIKAN

Pasal 101

(1) Selain pejabat penyidik POLRI yang bertugas menyidik tindak pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

(2) Dalam melaksanakan tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil, pejabat penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya pelanggaran;

b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. melakukan penyitaan benda dan atau surat;

e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pelanggaran dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum tersangka atau keluarganya;

i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Penyidik Pegawai Negeri Sipil tidak berwenang melakukan penangkapan, penahanan dan/atau penggeledahan.

(4) Penyidik membuat berita acara setiap tindakan tentang:

a. pemeriksaan tersangka;

b. pemasukan rumah;

c. penyitaan benda;

d. pemeriksaan surat;

e. pemeriksaan saksi;

f. pemeriksaan ditempat kejadian;

g. mengirimkan berkasnya kepada Pengadilan Negeri dan tembusannya kepada Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.

BAB XXIV

KETENTUAN PIDANA

Pasal 102

(1) Setiap orang dan/atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha pariwisata apabila melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap orang dan/atau Badan Usaha yang tidak memiliki TDUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, terbukti dengan sengaja melakukan usaha pariwisata dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

BAB XXV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 103

(1) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua perizinan usaha industri pariwisata yang telah dikeluarkan masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu harus didaftar ulang.

(2) Selama belum ditetapkan peraturan pelaksanaan berdasarkan Peraturan Daerah ini, peraturan pelaksanaan yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

BAB XXVI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 104

Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini harus telah ditetapkan dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.

Pasal 105

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 106

(1) Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

(2) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2015

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

ttd.

SAEFULLAH


Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 November 2015

GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

ttd.

BASUKI T. PURNAMA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TAHUN 2015 NOMOR 106

NOREG PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA : (6/2015)


1,282 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page