Sumber: Kosadata
Pada prinsipnya kita semua sangat mengecam keras kekejian dari gerakan PKI itu. Atas kepentingan apapun, kelompok itu tidak boleh dibiarkan tumbuh lagi di Indonesia
Dadang Solihin, Deputi Gubernur DKI
KOSADATA – Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Budaya dan Pariwisata, Dadang Solihin menyampaikan bahwa dirinya pernah dikirimi buku berjudul ‘Kesaksian: Memoir Seorang Kelana Angkasa’ yang ditulis oleh Marsekal Wisnu Djajengminardo sebagai mantan Komandan Pangkalan Halim Perdanakusuma dan Wing Ops 001 saat peristiwa pemberontakan G30 S/PKI terjadi. Buku tersebut didapat dari YM Irmawan Emir Wisnandar, puteranya Pak Wisnu.
“Saya belum lama ini bertemu dengan Pak Irmawan dan kembali berkisah tentang pengalaman ayahnya semasa bertugas di pangkalan Halim era 1965. ceritanya persis seperti yang pernah saya tulis dalam model berita dengan judul ‘Deputi Gubernur DKI: Marsekal Wisnu dan Suasana Halim 30 September 1965’ dan ‘Tunjuk Sebuah Buku, Deputi Gubernur DKI: Sisi Lain Suasana Halim Saat G30 S/PKI. Jadi apa yang saya sampaikan kepada anda saat ini sebetulnya berurutan dan berkaitan erat dengan dua berita yang saya maksud tadi itu,” ujar Dadang saat berbicang dengan wartawan di Jakarta, Kamis (30/9/2021).
“Pada prinsipnya kita semua sangat mengecam keras kekejian dari gerakan PKI itu. Atas kepentingan apapun, kelompok itu tidak boleh dibiarkan tumbuh lagi di Indonesia,” sambungnya.
Menurut Dadang, yang saat ini menjabat Sekretaris Ikatan Alumni Lemhannas Provinsi DKI, ada satu penggalan bab dalam buku tersebut yang mengisahkan tentang bagaimana tujuh pejuang Revolusi yang mengalami nasib tragis setelah diculik dan dibunuh sekelompok pasukan berseragam Cakra Birawa berbaret merah lalu dimasukan ke dalam sebuah sumur tua di Desa Lubang Buaya, Pondok Gede.
Dadang pun bercerita tentang pengalaman Wisnu dimulai dari saat tibanya Komodor Leo Wattimena ke pangkalan Halim Perdanakusuma pasca terbang bersama Men/Pangau Omar Dhani ke Bogor pada 1 Oktober 1965 silam.
“Sekembalinya Komodor Leo ke Halim dan memimpin Koops lagi, Pak Wisnu diperintahkan untuk pergi ke lapangan Udara Atang Senjaya, Semplak, Bogor. Pak Wisnu harus menjumpai Men/pangau dan menghimbau agar dia untuk sementara tidak ke Halim dulu. Situasi kurang aman dan tidak menguntungkan bagi Pak Omar,” kata Dadang mengutip isi buku tersebut.
“Ditulis dibuku itu bahwa Pak Wisnu lupa antara tanggal 3 atau 4 Oktober beliau menghadiri pertemuan di Istana Bogor yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Disebutkan Pak Wisnu, para Panglima, Siliwangi, Kodam Jaya, Komando Daerah Udara (Korud) hadir dan beliau sempat bertemu Jenderal Soemitro yang berkata ‘Sayang laporan Wisnu dan Dradjad tidak kita bahas lebih mendalam’,” lanjutnya.
Dadang menuturkan, Pada hari bersejarah itu, jenazah ke tujuh Pahlawan Revolusi ditemukan di dalam sumur di desa Lubang Buaya tempat latihan para sukarelawan dan sukarelawati. Jenazah-jenazah, kata Dadang, dalam keadaan yang sangat menyedihkan dan mengerikan. Ia menyebutkan bahwa di dalam Pangkalan Halim ada lapangan Lubang Buaya yang termasuk daerah kekuasaan Halim dan pernah dipakai untuk defile dan demonstrasi terjun payung pada upacara-upacara HUT ABRI 5 Oktober.
Sebagai informasi bahwa batas dari lapangan ialah salah satu jalan yang memisahkan lapangan itu dengan desa Lubang Buaya. Kampung itu sebetulnya sudah termasuk Pondok Gede, sementara sumur terletak di kebun karet milik perusahaan Inggris yang ada di desa Lubang Buaya – Pondok Gede, posisinya di luar dan tidak pernah masuk daerah Pangkalan Halim.
Kebun Karet sendiri telah lama ditinggalkan oleh pemiliknya dan pernah dikelola oleh Pukadara (Pusat Koperasi Angkatan Udara). Bekas sumur telah dipugar dan di dekatnya didirikan Monumen Kesaktian Pancasila dipisahkan dengan Halim oleh jalan Raya Pondok Gede yang lebar. Dahulu jalan itu bak rangkaian kubangan kerbau yang tidak disenangi semua pengemudi dan sunyi sepi. Jika ada kesan atau pendapat bahwa sumur itu ada dalam wilayah Halim sebenarnya tidak sesuai dengan fakta yang ada.
“Pada hari itu tujuh Pahlawan Revolusi, setelah disemayamkan di MBAD, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Semoga pengorbanan pahlawan-pahlawan kita tidak sia-sia dan selalu mengingatkan kita, agar kita selalu waspada dan siaga untuk mempertahankan Merah Putih dan Pancasila. Semoga arwah mereka diterima di sisi Allah,” imbuh Dadang.
“Men/Pangau Laksamana Madya Udara Omar Dhani beserta keluarga meninggalkan Halim terbang ke luar negeri dengan pesawat Hercules C-130,” sambungnya.
Lebih lanjut Dadang menceritakan terkait renungan Wisnu atas pengalamannya sebagai Komandan Halim dan Komandan Wing Ops 005 serta kejadian G30S/PKI. Wisnu berharap kesaksian yang ia tulis dimengerti oleh generasi penerus. Buku itu, kata Dadang, menceritakan apa yang pernah Wisnu alami dan ketahui.
“Diakhir bab, Pak Wisnu bilang seperti ini; Saya tidak bermaksud untuk menguak luka lama. Kawan-kawan saya ada yang setuju ada juga yang tidak setuju. Teman karib saya Letjen (Pur) Rais Abin, berkata: “Het wordt hoog tijd Nu! Sudah tiba waktunya seorang perwira Angkatan Udara menceritakan pengalamannya tentang kejadian itu,” ucap Dadang menirukan perkataan Wisnu.
Dadang mengatakan, Wisnu berpendapat bila kejadian G30S/PKI yang menyangkut AURI dan Pangkalan Halim ingin dijernihkan, maka Angkatan Udara sendiri yang harus mengupayakannya. Pada tahun 1995, kata Dadang berdasar buku itu, Kasau Marsekal Rilo Pambudi pernah mengumpulkan perwira-perwira stafnya dan para perwira senior yang masih aktif sekitar tahun 1965/1966. Wisnu diundang tetapi tidak dapat hadir lantaran sedang berada luar negeri.
“Dalam pertemuan di Mabes AU diadakan ‘open talk’ tentang pemberontakan itu dan hasil pembicaraan cukup memuaskan. AURI harus berusaha untuk mengungkap ‘Kabut Halim’ demi sejarah. Demi keutuhan ABRI. Menepuk air di dulang terpecik muka sendiri,” imbuhnya.
Jika Angkatan Udara ternoda rusaklah pula angkatan-angkatan lain. Sekalipun sudah disembunyikan dengan istilah oknum namun di mata masyarakat (public image) tetap saja: satu ternoda semua tercemar. Bapak saya sering memberi nasihat kalau saya sedang murung: ‘Gusti Allah Ora Sare’,” pungkas Dadang menirukan pernyataan Wisnu di akhir Bab buku tersebut.
Comments